Kupang, Sakunar – Nama Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai Kota Pancasila kembali tercoreng gegara pembangunan toilet umum. Yang dimaksud adalah pembangunan empat unit toilet umum pada tiga Kecamatan di Kabupaten Ende (yaitu Kecamatan Ende Utara, Kecamatan Detusoko, dan Kecamatan Kelimutu) dengan anggaran senilai Rp 2,2 milyar dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Kementerian Pariwisata tahun 2021. Pengerjaan masing-masing unit toilet dimaksud diduga sarat praktek korupsi, karena alokasi anggaran pengerjaan per toilet bernilai fantastik yaitu di atas Rp 500 Juta.
Demikian pernyataan kritis Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) melalui Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, S.H dalam rilis tertulis yang diterima Tim Media ini pada Senin (27/06/2022).
“Pembengkakan biaya pembuatan toilet standar Desa/Kampung untuk toilet umum dengan pagu anggaran/toilet Rp 500 Juta lebih, sangat fantastik. Bahkan jauh lebih mahal dari biaya/toilet Rujab Bupati atau Rujab Ketua DPRD, Kapolres, Kajari Ende dll. Namun demikian, para petinggi Penegak Hukum bersama Bupati dan DPRD Ende memandang peristiwa pembengkakan anggaran toilet itu hal biasa dalam pandangan kronisme dan budaya korupsi pejabat di Ende,” tulisnya.
Menurutnya, anggaran pengerjaan toilet tersebut diberikan kepada empat kontraktor yakni: 1) CV. Kalibhera dengan anggaran senilai Rp 568 Juta untuk pengerjaan WC Umum di lokasi Sao Ria Wisata Moni; 2) CV. Tunbes dengan alamat Kota Kupang, dapat pagu anggaran Rp 568.254.720 untuk pengerjaan WC Umum di lokasi wisata Air Panas Ae Oka Detusoko; 3) CV. Kasih Ibu beralamat di Ende dengan pagu anggaran sebesar Rp. 568 Juta untuk pengerjaan WC Umum di lokasi wisata Pantai Kota Raja; dan 4) CV. Sarta Jaya Mandiri, beralamat di Jalan Perwira Ende, pagu anggaran sebesar Rp.568.254.720 untuk pengerjaan WC Umum di lokasi Taman Rendo.
“Padahal secara umum, belanja pembuatan toilet mewah untuk bangunan Rumah pribadi atau Hotel, rata-rata per toilet sekitar Rp 25 Juta atau paling tinggi sekitar Rp 30 Juta. Sedangkan pembangunan toilet untuk pelayanan umum di Pantai Ria, Moni; Ae Oka, Detusoko; Pantai Kota Raja; dan Taman Rendo dianggarkan di atas Rp 500 juta atau 20 kali lebih mahal dari harga normal atau harga biasa,” bebernya.
Terkait persoalan tersebut, Petrus Selestinus meminta KPK selaku lembaga anti rasuah untuk melakukan supervisi dan monitor. Karena Kabupaten Ende merupakan salah satu Kabupaten yang penegak hukumnya sangat minim prestasi. Bahkan boleh dikatakan di Ende untuk menegakan hukum, harus dengan korupsi dulu.
“Kabupaten Ende merupakan surga bagi para koruptor, baik Eksekustif dan Legislatif maupun Yudikatif. Mereka sudah saling menyandera untuk saling melindungi diantara mereka. Banyak kasus yang hanya digdaya diawal tetapi loyo di penghujung,” sindirnya.
Petrus berpandangan, bahwa kasus pembangunan empat unit toilet di tiga Kecamatan di Ende dengan anggaran tersebut harus menjadi “triger” untuk membuka mata KAPOLRI, JAKSA AGUNG dan KPK agar segera mensupervisi dan memonitor kinerja Kapolres dan Kajari Ende, agar berhenti berkolaborasi dengan para koruptor kakap di Ende dan mengembalikan Ende sebagai Kota Pancasila.
“Apakah kasus ini “by design” untuk merusak budaya masyarakat Ende, sehingga dibiarkan dan terbentuk karakter korup hingga abai dan menutup mata serta telinga terhadap kritik publik untuk perbaikan dan perubahan? Padahal di Komisi III DPR RI selalu ada Anggota DPR RI berasal dari NTT, hingga tiga sampai empat anggotanya duduk di Komisi III. Ironisnya, penegakan hukum di NTT sangat buruk dan semakin buruk. Konon mereka juga memiliki proyek di Kabupaten-Kabupaten,” kritiknya lagi.
Petrus Selestinus lanjut membeberkan, bahwa Ende sebagai Kabupaten dimana pada tahun 1934-1938 Bung Karno diasingkan. Di daerah itulah Bung Karno berhasil menggali dan menemukan nilai-nilai Pancasila yang kemudian dijadikan Ideologi Negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia.
“Siapapun pejabat yang ditempatkan di Ende seharusnya orang-orang pilihan terbaik. Atau pejabat-pejabat buangan sekalipun, ketika bertugas di Ende maka ia akan berubah menjadi lebih baik. Namun kenyataannya, Ende telah dirusak dan berada dalam proses penghancuran moral melalui perilaku pejabat yang korup secara bersama-sama, dan berlanjut bersama mereka yang ditugaskan untuk mengabdi dan menegakan hukum,” tegasnya.
Terkahir, kata Selestinus, kasus pembangunan Toilet Umum dengan anggaran Rp 2,2 Milyar merupakan penghinaan terhadap “keadilan sosial” dan “kemanusiaan” masyarakat Ende dan Flores pada umumnya.*(Joger/tim)