Malaka, Sakunar — Kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak yang dialami CT (13), warga Desa Kakaniuk, Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur mendapat respon serius dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT. Terkait kasus ini, LPA NTT bersuara tegas, bahwasanya ini adalah sebuah kejahatan.
Demikian siaran pers tertulis yang diterbitkan LPA NTT, Jumat (06/05/2022). Siaran Pers ini diterbitkan Ketua LPA NTT, Veronika Ata, SH, M.Hum.
“Kekerasan Sexual terhadap anak CT, 13 tahun yang terjadi di Bakateu, Betun- Kabupaten Malaka, NTT merupakan Tindak Pidana Kekerasan Sexual dan sebuah kejahatan,” demikian tulis Ketua LPA NTT.
Berdasarkan informasi yang kami peroleh dari keluarga korban maupun pemberitaan media, lanjut Ketua LPA NTT, dugaan pelaku dalam kasus ini terdiri dari 3 orang, yakni NM dan GT serta ibu Kost.
Menurut dia, kekerasan sexual di Kabupaten Malaka kian marak, namun perhatian minim baik dalam upaya pencegahan maupun penegakan hukum. Dalam kurun waktu 6 bulan (sejak Desember 2021), LPA NTT mendapatkan laporan kasus kekerasan sexual terhadap anak di Kabupaten Malaka sebanyak 5 kasus.
“Sejauh pantauan kami, proses hukum berjalan lamban. Karena itu LPA NTT berpendapat bahwa terhadap peristiwa kekerasan sexual yang menimpa anak CT (13), sudah semestinya para pelaku dikenakan pasal berlapis karena telah melanggar UU Perlindungan Anak, KUHP dan UU Tindak Pidana Kekersan sexual,” lanjutnya.
Secara umum, tindak kekerasan sexual ini diatur dalam pasal 285 KUHP : “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Selanjutnya secara spesifik Kekerasan sexual diatur melalui Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 76 D menyebutkan: “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.
Ketentuan pidana terhadap perbuatan ini diatur dalam pasal 81 (1) yang menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang melangggar ketentuan Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Selain beberapa ketentuan UU sebagaimana yang disebutkan, saat ini telah ada UU Tindak Pidana Kekerasan Sexual, yang disahkan oleh DPR RI pada tgl 12 April 2022”.
Pasal 108 UU TPKS: Ayat (2) “Setiap orang yang melakukan perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 13 (tiga belas) tahun dan pidana tambahan Ganti Kerugian.
“Sesungguhnya ibu Kost (penyedia kos-kosan bagi korban) merupakan orang yang menyuruh/ memudahkan orang lain melakukan perkosaan. Karena itu dapat diancam dengan pidana penjara sesuai Pasal 114 UU TPKS: “Setiap orang yang menyuruh dan/atau memudahkan orang lain melakukan perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun, dan pidana tambahan Ganti Kerugian,” tambah Ketua LPA NTT.
Selain UU TPKS, dapat pula dikenakan pasal. Pasal 76 D UU Perlindungan Anak, sebagaimana yang diuraikan di atas.
LPA NTT mengapresiasi pihak Polres Malaka yang telah menangkap dan menahan pelaku NM, mendukung proses hukum, menangkap dan menahan pelaku yang lain, serta memberikan perlindungan kepada korban yang merupakan seorang anak.
“Kami mendesak agar Pihak Polres Malaka memberikan perhatian serius dalam upaya penegakan hukum, menindak pelaku secara tegas dan menerapkan pasal berlapis. Hal ini sangat penting agar memberikan efek jera terhadap pelaku, memberi pelajaran kepada publik serta memenuhi rasa keadilan bagi korban dan keluarga.
Semoga Hukum dapat ditegakkan di Rai Malaka demi pemenuhan dan perlindungan hak anak,” tutupnya.*(JoGer)