Di Sisi Pusara Itu

oleh -655 views

Berita itu sampai kepadaku ketika aku sedang berkemas  ke kantor pagi tadi. Pembawa berita itu adalah kenalan sahabat saya. Kulihat ia setengah berlari memasuki pekarangan rumah, berbicara sebentar kepada isteriku, lalu pergi lagi. Terburu-buru.  Baru setelah ia pergi, isteriku meneruskan berita itu kepadaku. “Pak Bas meninggal pagi tadi. Sebab kematiannya tidak jelas. Tak ada tanda penyakit”, begitu isi berita itu. Bas adalah mantan tetangga kami. Tahun lalu rumah  kami masih bersamping-sampingan. Rumahnya di samping rumah kami.  Tapi itu terjadi sebelum kejadian kelabu. Begitu orang menyebut kejadian itu. Tidak tahu, mengapa. Mungkin kelabu melukiskan duka tak terselami korban kejadian itu. Itu dugaan saya. Dan seperti itulah jawabanku kepada si Ari, anakku ketika ia bertanya padaku tentang nama itu.

Kejadian itu demikian. Pada suatu sore di awal musim kemarau tahun lalu, sebuah mobil mewah berlabuh di ujung jalan kampung kami. Pak Camat yang pertama turun dari mobil itu, disusul pak Kades, lalu dua pria asing. Yang seorang pendek, gemuk dan botak, yang satunya tinggi, kekar dan gondrong. Tidak lama berselang, semua warga telah berkumpul di Balai Pertemuan. Pak Kades yang mulai berbicara. Lalu disusul pak Camat, dalam gaya retorisnya yang memikat, “Bapak-bapak dan ibu-ibu, kita patut berterima kasih kepada pemerintah kita. Berkat kerja keras pemerintah, kampung anda sekalian ini akan memiliki sebuah SMU. Tidak banyak yang dituntut dari anda. Hanyalah kesediaan anda untuk merelakan tanah bagi pembangunan sekolah itu.”

Pengukuran dan pematokan tanah dilakukan sore itu juga. Warga sendirilah yang melakukan itu, dan semua berjalan lancar, tanpa komentar, pun ketika alat ukur itu melewati pekarangan rumah dan dapur-dapur mereka. Beberapa orang tua diminta menandatangani sepucuk surat. Semua terpana dan terbius oleh retorika pak Camat. Baru setelah tamu-tamu itu hilang bersama mobil mewah itu, semua tersentak. Tidak tahu siapa yang memulai, tapi tiba-tiba semua berteriak dengan geramnya, “tidak…, ini penipuan…, pemerasan…, sekali-kali ini tidak boleh terjadi”. Tetapi tidak ada lagi yang mendengarkan protes mereka, selain isteri mereka, anak-anak mereka dan mereka sendiri. Dan dua hari berselang, berdatanganlah mesin penggusur, yang merombak pemukiman rakyat itu tanah lapang hanya dalam sekejap mata. Beruntung rumahku di luar lokasi bangunan. Tapi Bas, harus menahan sakit hatinya menyaksikan rumah yang dibangun dari keringatnya diruntuhkan. Lebih sakit lagi menerima kenyataan perpisahan kami. Tapi persahabatan tetaplah persahabatan. Keluargaku dan keluarganya tetap tak terpisahkan. Tidak jarang kami saling mengunjungi. “Apakah kau hendak melayat?”, tanya isteriku.  Aku menjawabnya dengan sebuah anggukan. “Kami akan menyusul, setelah Ari pulang sekolah”, katanya kemudian.

Baca Juga:  Janji Janji Tinggal Janji

Aku tiba di rumah duka, di Gang Mangga, Pemukiman Baru, ketika  mentari beranjak tinggi. Sudah banyak orang di sana. Lelaki-wanita, tua-muda, hitam-putih. Beberapa orang tua menyambutku dengan salam disertai senyum ramah. Beberapa orang muda terlihat sibuk mempersiapkan makam. Isteri dan  dua puterinya dalam atribut kabung bersimpuh di sisi jasadnya. Kusalami mereka.  Lalu diam sesaat. Kumohonkan istirahat yang aman dan damai baginya.

Seorang pria mengajakku duduk  Seorang gadis membawakan segelas air putih kemasan kepadaku. Kuteguk air itu, yang segera membasahi dinding tenggorokanku yang kering. “Begini saudara”, kata pria, ketua wilayah itu, “para tokoh wilayah ini telah berembuk untuk menghantar almarhum ke peristirahatan terakhir pada sore ini juga”, lanjutnya. “Bagaimana segala urusan?”, tanyaku. “Semua sudah ditangani, termasuk pemimpin upacara pemakaman”, jawabnya. Perbincangan kami lalu beralih kepada almarhum dan kehidupannya.

Baca Juga:  Dikejar Bayang-Bayang

Mentari telah condong ke  arah barat. Sepasang tekukur di ranting cemara di sisi rumah itu mengukur lirih, menatap wajah-wajah lusuh berselimut lara tak terhibur. Kehadiran mereka dinilai amat tepat. Di kala hati kian senduh dan tangis kian piluh. Saat terkahir ibu dan anak-anak menatap dan meneteskan air mata terakhir pada kafan pembungkus jazad suami dan ayah mereka, saat ungkapan sayonara lepas dari bibir para kerabat dan sahabat, sebelum peti jenasah ditutup. Yang akan memimpin upacara telah siap dengan jubah putih berselubung warna kabung. Dan pemimpin itulah yang menaburkan kesejukan ini kepada semua di bawah tenda duka itu.

Disuatu tempat hiduplah dua orang bertetangga; yang satu amat kaya, tapi terkenal pelit, yang lainnya adalah seorang wanita tua yang hidup pas-pasan tetapi pemurah dan suka menolong orang lain yang dalam kesusahan. Pada suatu ketika si  kaya meninggal dunia dan segera menghadap St. Petrus di gerbang Kerajaan Surga. St. Petrus menunjukkan kepadanya sebuah gubuk reot sambil berkata, “Anakku, itulah rumah yang telah kubuat bagimu.Silahkan menempatinya.” Melihat gubuk itu wajah  si kaya pucat pasi. Ia berkata, “Bapak Petrus, saya tidak bisa hidup di gubuk itu. Masa bapak tidak tahu bahwa saya ini orang kaya, yang punya rumah bertingkat di bumi?” jawab St. Petrus kepadanya, “Anakku, gubuk itu kubangun dari bahan-bahan yang kau kirimkan dari bumi. Engkau menyumbangkan barang-barang bekas kepada orang miskin. Barang-barang itulah bahan untuk membangun gubuk itu.”

Terjadilah bahwa orang yang miskin itupun meninggal dan segera menghadap St.Petrus, pemengang kunci Kerajaan Allah. Kata St. Petrus kepadanya, “Anakku, marilah, engkau akan kuhantar ke rumahmu.”  Wanita tua itu dihantar ke sebuah rumah mewah, tetapi ia menolak, “Tidak bapak Petrus, saya sudah terbiasa hidup di gubukku yang reot. Berikan saja kepadaku sebuah gubuk di bawah sana”, katanya. “Oh tidak anakku”, kata St. Petrus, “rumah ini dibuat dari bahan-bahan yang kau kirimkan sendiri. Setiap kali engkau membantu orang, upahmu dikirim ke sini. Derma-derma yang kau berikan ditabung disini. Tabungan itu kupakai untuk mendirikan rumah ini. Rumah ini milikmu. Karena itu, masuklah dan nikmatilah kebahagianmu, sebab tak seorangpun yang akan merebutnya dari engkau.”

Baca Juga:  Dikejar Bayang-Bayang

Itulah kisah menyejukkan hati dari yang memimpin upacara penguburan Bas, sahabatku. Semua terhibur mengingat kebaikan almarhum. Semua berharap ia bahagia di sana. Sebab, “Setiap kita”, begitu kata sang pemimpin,  “punya Rekening Hidup Abadi di Surga. Karena itu, setiap kali kita berbuat baik, upah kita dicatat di sana. Ketika kita menolong orang, upah kita ditabung disana. Ketika kita memberikan derma, kita menabung untuk kehidupan kekal. Sehingga ketika kemah kediaman kita di bumi ini dibongkar, kita akan mendapat kediaman di Surga; suatu tempat kediaman kekal”.

Semua berarak dalam langkah ringan menghantarkan almarhum ke tempat perisitirahatannya yang terakhir. Tak ada mendung lagi. Anginpun berhembus halus, sangat romantis. Tangis pilu tak ada lagi ketika makam itu ditimbuni tanah. Yang ada tinggallah isak-isak kecil diselah desiran dedaunan cemara dari bukit di sisi kampung itu. Semua; manusia dan alam seolah berpadu dalam harmoni indah menghantarkan seorang puteranya kembali ke pangkuan Sang Khalik. Hening di sisi pusara itu. Lama sekali. Hingga mata tak sanggup lagi memandang, semua masih tenggelam dalam permenungannya; tentang hidup masing-masing, tentang mati masing-masing.****

Cerpen Karya GS John

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.