Didukung UNICEF, ChildFund Dan CITAMADANI Sosialisasi Pengurangan Anak Tidak Sekolah Di NTT

oleh -569 views

KUPANG, Sakunar — ChildFund International di Indonesia dan Yayasan Cita Masyarakat Madani (CITAMADANI) didukung UNICEF menggelar kegiatan sosialisasi program pengurangan Anak Tidak Sekolah (ATS) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kegiatan tersebut bertujuan membangun pemahaman bersama multi pihak terkait pentingnya kemampuan dan pengetahuan multi pihak untuk mengatasi dan mendukung kesempatan belajar bagi ATS . Selain itu, untuk memetakan ATS dan anak berisiko putus sekolah guna mendapatkan dukungan kesempatan belajar. Sosialisasi program ATS juga bertujuan memetakan inisiatif yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah dalam upaya mendukung kesempatan belajar bagi ATS di NTT.

Kegiatan tersebut dilaksanakan pada Rabu (14/09/2022) di Hotel Kristal, Kota Kupang, melibatkan sejumlah perwakilan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tingkat Provinsi dan Kabupaten. Diantaranya, Beppelitbangda NTT, Dinas P&K NTT, Dinas PMD NTT, Dinas Sosial NTT, Dinas Perindustrian Koperasi dan UMKM, Kanwil Kemenhum HAM NTT. Juga Dinas P&K Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS, Dinas PMD Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS, Dinas Sosial Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) NTT, Dinas Perindustrian dan Koperasi UMKM Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS, Delapan Kepala Desa yang menjadi target percontohan di Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS. Juga perwakilan Lingkar Remaja CITAMADANI Kupang. Sosialisasi program ATS di NTT juga menghadirkan sejumlah narasumber dari UNICEF, Kemendes, Direktorat PMPK, Bappenas, Bappelitbangda NTT dan Dinas P&K NTT, dan media.

Direktur Program dan Sponsorship ChildFund International Indonesia, Aloysius Suratin dalam sambutanya mengapresiasi dan terima kasih kepada kementrian, khususnya Bappenas, Kementrian Desa dan Desa Tertinggal, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan atas dukungan yang diberikan.

Aloy Suratin menjelaskan, peran Childfund dalam visinya untuk mewujudkan hak anak. Dan di dalam kerjanya, Childfund selalu melibatkan mitra untuk melihat setiap fenomena sosial dalam dimensi sektoral sehingga program ini merupakan dasar kolaborasi UNICEF bersama ChildFund dan CITAMADANI untuk lebih melihat isu terkait ATS .

“Berdasarkan data Anak Tidak Sekolah, di Indonesia terdapat 4,1 Juta anak tidak sekolah, maka apabila dibandingkan dengan penduduk Singapura yang berjumlah 5,9 Juta penduduk maka jumlahnya hamper mendekati populasi penduduk negara Singapura.. Maka akan sangat sulit jika tidak ada intervensi baik dari pemerintah dan berbagai pihak untuk menekan angka anak tidak sekolah. Sehingga ChildFund juga menggagas pendidikan Life skill sebagai upaya untuk memback up anak-nak tidak sekolah agar lebih mandiri dalam mempersiapkan masa depan,” tutur Aloy.

Semua kerja-kerja pemberdayaan ini, lanjut Direktur Program dan Sponsorship ChildFund Indonesia itu, tidak terlepas dari dukungan Pemerintah Provinsi NTT. Khususnya Bapelitbangda yang selalu mendukung impelentasi program ChildFund dan CITAMADANI yang didukung oleh UNICEF dalam peran penting menggagas upaya penanganan Anak Tidak Sekolah.

Selajutnya Pemerintah Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan yang menjadi wilayah pelaksanaan program penanganan Anak Tidak Sekolah di NTT bisa menjangkau hingga ke Desa.

“Kami berharap rekan-rekan media dapat berperan penting dalam hal menyampaikan pesan dan program dalam penanganan Anak Tidak Sekolah di Provinsi NTT. Kunci sukses dari program ini ialah peran dari kepala desa, sehingga ketika anak tidak sekolah, tapi anak tidak pernah putus menjadi warga desa, sehingga dukungan Kepala Desa sangatlah penting untuk memberikan perhatian bagi seluruh anak,” ucap Aloy.

Education Specialist UNICEF Indonesia, Suhaeni Kudus dalam sambutannya menyampaikan, “Kaji cepat pada anak yang berada diluar sekolah pada situasi COVID19 yang dilakukan oleh UNICEF, mengindikasikan bahwa terjadinya peningkatan angka anak diluar sekolah;3 dari 4 anak yang terdaftar di sekolah paling tidak memiliki 1 faktor risiko yang dapat mengakibatkan mereka putus sekolah. Peningkatan ini sebagian besar disebabkan oleh dampak sosial-ekonomi yang sangat besar dari COVID19 pada rumah tangga. Keluarga tidak punya banyak pilihan selain memprioritaskan makanan daripada pendidikan dalam banyak kasus,” ucapnya.

Menurut Suhaeni Kudus, anak-anak juga menghadapi kurangnya akses internet, dan terbatas atau tidak ada akses ke perangkat pembelajaran untuk memperoleh materi pembelajaran sekolah dll selama pandemi. Selain itu, komitmen anggaran untuk program pengembangan anak (Pendidikan Kecakapan Hidup) di tingkat kabupaten masih rendah. Hanya 50% dana desa yang dialokasikan pemerintah daerah untuk program pemberdayaan pemuda dan remaja. Tantangan- ini adalah salah satu alasan pemerintah Indonesia sulit mewujudkan tercapainya kebijakan wajib belajar 12 tahun.

“Program mengatasi masalah Anak Tidak Sekolah melalui implementasi Sistem Informasi Pembangunan Berbasis Masyarakat dalam kemitraan dengan Kementerian Desa PDTT, yang memperkuat kapasitas pemerintah daerah untuk melakukan pemetaan berbasis masyarakat untuk mengidentifikasi Anak Tidak Sekolah dan hambatan mereka untuk mengakses layanan pendidikan, serta merancang tindakan untuk membantu Anak Tidak Sekolah kembali dapat memiliki akses untuk pendidikan,” imbuhnya.

Sementara itu, Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Provinsi NTT, Ganef Wurgiyanto dalam sambutannya sebelum membuka kegiatan Sosialisasi program pengurangan ATS di NTT, menekankan peran kepala desa sebagai pemilik masyarakat di desa, mengingat Anak Tidak Sekolah adalah bagian dari warga desa.

“Kepala Desa adalah orang yang tahu persis masyarakatnya sekolah atau tidak sekolah. Kepala Desa juga memiliki masyarakat dan dihormati sehingga apabila Kepala Desa yang menyarankan (semua anak harus sekolah, red) maka akan dituruti oleh masyarakat. Jika ada orang luar yang menyarankan, tidak serta merta diterima dengan baik oleh masyarakat, dan akan timbul keraguan dikarenakan orang tersebut tidak atau belum dikenal secara baik,” jelasnya.

Dalam diskusi nanti, pesan Ganef, pengambil kebijakan dan pemangku program perlu pahami konteks Anak Tidak Sekolah dan faktor yang mempengaruhi anak tidak bersekolah. Pendidikan sangat penting, karena bisa merubah cara berpikir orang dan cara kerjanya.

“Kita harus memilih pendidikan yang sangat dibutuhkan masyarakat, karena pada akhirnya pendidikan akan berhubungan langsung dengan pemenuhan ekonomi dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu kita harus betul – betul bisa menterjemahkan dan memahami keterampilan khusus pada Anak Tidak Sekolah dengan memberikan arahan bagi anak terkait pemahaman dan keterampilan. Misalnya sekolah pertanian dan peternakan metode yang digunakan itu bukan hanya pada ijazah, akan tetapi pada pemahaman dan keterampilan anak untuk masa depan. Anak harus dibekali dengan pemahaman terkait proses penanaman benih, perawatan, panen hingga pemasaran hasil panen. Karena saat ini kemampuan digital sangat penting dan bisa menjangkau konsumen di mana saja terkait pemasaran,” jelasnya.

Menutup sambutannya, Asisten 2 Setda Provinsi NTT itu mengajak peserta sosialisasi mengenai pentingnya melihat capaian program, apakah berhasil atau tidak? Oleh karena itu, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi sehingga dapat mengetahui apa yang perlu ditingkatkan atau di fokuskan.

“Harapannya setiap masukan dicatat dengan baik agar bisa menjadi rujukan dalam perencanaan demi mencapai Visi NTT yaitu NTT bangkit menuju NTT Sejahtera,” ujarnya.

Acara dilanjutkan dengan sesi penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemprov NTT dan UNICEF serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kupang dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten TTS.

Pada sesi materi, Staf Perencana Ahli Madya, Direktorat Agama, Pendidikan dan Kebudayaan BAPPENAS RI, Suprapto Nugroho dalam materinya tentang Strategi Nasional Penanganan Anak Tidak Sekolah membeberkan sejumlah strategi penanganan Anak Tidak Sekolah.

Beberapa diantaranya yaitu: 1) Pengembangan sistem deteksi dini anak rentan putus sekolah yang dilakukan managemen sekolah dan guru berdasarkan data kehadiran anak dan pencapaian pembelajaran. 2)pengembangan basis komunikasi dan hubungan kolaboratif erat antar satuan pendidikan dan orang tua, termasuk untuk deteksi dini anak rentan putus sekolah. 3)melakukan analisa lebih lanjut untuk menemukan faktor-faktor yang mampu mendeteksi kerentanan anak dalam menajadi putus sekolah. 4)mengembangkan upaya intervensi dan pendampingan peserta didik yang diprediksi rentan putus sekolah melalui pendekatan yang ramah anak, partisipatif, serta melibatkan orang tua peserta didik. 5)integrasi pencegahan anak putus sekolah sebagai bagian dari standar penjaminan mutu sekolah dan komponen pengembangan kapasitas guru. 6)pengembangan sistem pemantauan keberadaan anak usia sekolah di jam sekolah berbasis masyarakat, dan sosialisasi prosedur komunikasi dan pemberitahuan kepada orang tua dan satuan pendidikan.

“Bappenas memiliki sejumlah rekomendasi dan arahan kebijakan dan aksi prioritas penanganan Anak Tidak Sekolah berfokus pada: penguatan dan perluasan layanan pendidikan dan pelatihan yang sesuai, penguatan mutu dan relevansi layanan pendidikan yang sesuai, meminimalisasi hambatan ekonomi anak kembali bersekolah, dan meminimalisasi hambatan sosial budaya yang mencegah anak bersekolah,” ujarnya.

Selanjutnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ristek melalui Direktorat PMPK, Asep Koswara tentang Penguatan Pendidikan Non-formal sebagai Layanan Pendidikan Alternatif bagi Penanganan Anak Tidak Sekolah, menjelaskan bahwa Aanak Tidak Sekolah merupakan permasalahan yang kompleks dan bersifat multidimensional. Anak Tidak Sekolah berhubungan dengan isu-isu yang saling berkaitan: sosial-ekonomi, kondisi geografis, gender (pernikahan dan pekerja anak, dll) dan disabilitas. “Gerakan Kembali Bersekolah (GKB) menjadi salah satu strategi awal untuk segera mengembalikan Anak Tidak Sekolah ke jalur pendidikan baik melalui jalur formal maupun non-formal,” tandasnya.

Koordinator Program Kerjasama UNICEF-Direktorat Pembangunan Sosial Budaya Lingkungan Desa dan Pedesaan, Eppy Lugiarti, MP, pada kesempatan materinya pun menggambarkan tentang pendidikan desa berkualitas sebagai arah baru kebijakan nasional pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa (poin 4 SDGs). Salah satunya melalui perwujudan ‘Desa Peduli Pendidikan’.

“Maksudnya adalah desa yang mampu mengelola pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa untuk meningkatkan layanan dasar pendidikan sesuai dengan kewenangan desa. Penanganan Anak Tidak Sekolah berpengaruh pada kenaikan angka partiipasi sekolah dan rata-rata lama sekolah yang merupakan 3 dan 7 indikator SDGs 4,” tandasnya.

Kabid Pengembangan Pembangunan Manusia (PPM) Bappelitbangda NTT, Esron Elim dalam materinya berbicara tentang perencanaan daerah dalam upaya mendukung akses pendidikan bagi anak putus sekolah. Menurutnya, walaupun wewenang intervensi program pengurangan Anak Tidak Sekolah adalah pemerintah pusat dan kabupaten/kota, ia menegaskan pemerintah provinsi sedang berupaya untuk mengadvokasi ke tingkat pusat terkait reformulasi wewenang penanganan Anak Tidak Sekolah, sinkronisasi data (DAPODIK, EMIS, SIAK, DTKS), terutama agar isu Anak Tidak Sekolah masuk dalam dokumen perencanaan pemerintah daerah provinsi.

“Walau demikian, Pemerintah Provinsi NTT sebagaimana misi keempat kepemimpinan Viktory-Joss berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia NTT yang berkualitas melalui peningkatan kualitas dan layanan pendidikan yang merata, peningkatan keberpihakan pendidikan anak-anak dari keluarga kurang mampu, peningkatan pendidikan vokasi dan entrepreurship, dan peningkatan profesionalisme, kualitas, pengelolaan dan penempatan guru,” bebernya.

Hasil yang diharapkan dari adanya kegiatan sosialisasi tersebut ialah adanyai pemahaman bersama multi pihak/lintas OPD di tingkat Provinsi maupun Kabupaten (Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS) tentang pentingnya kemampuan dan pengetahuan untuk mengatasi dan mendukung kesempatan belajar bagi Anak Tidak Sekolah. Selain itu, mampu memetakan Anak Tidak Sekolah dan anak berisiko putus sekolah guna mendapatkan dukungan kesempatan belajar. Para peserta sosialisasi juga diharapkan dapat memetakan inisiatif yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah dalam upaya mendukung kesempatan belajar bagi Anak Tidak Sekolah di NTT.*(CITAMADANI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.