Malam beranjak dewasa. Hawanya yang dingin menyapu kulit wajahku yang telanjang. Dingin. Kutarik selimut hingga menutupinya. Kucoba pejamkan mata, tapi bayang-bayang itu kembali mengusik.
“Jangan mengira kau dapat membinasakan aku. Sekali-kali kau takkan bisa membunuhku”. Kutarik napas panjang. Kucoba lagi mengusirnya pergi, tapi tak sanggup. Sementara malam terus bergerak menjemput pagi, tanpa ada yang mampu menahannya.
Langit di atas kota Ende berawan biru. Beberapa gumpalan awan putih yang melintas mencair ditimpa terik mentari. Kuayunkan kaki menyusuri gang sempit di ujung jalan Merpati. Mukaku pucat. Tubuhku lemas. Semua mata menatapku garang ketika kulangkahkan kakiku memasuki pekarangan rumah Johan, seolah mengadiliku, seolah semua sudah mengenalku sebagai pembunuh. Tetapi siapa yang memberitahukan kepada mereka? Adakah orang yang memergokiku? Bayang-bayang itu kembali melintas di benakku.
“Bento, semua orang tahu sandiwaramu. Mereka tahu kau mencekikku, membaringkan tubuhku yang tidak bernyawa di atas tempat tidur, lalu meletakkan secarik kain basah pada dahiku, seolah saya meninggal karena penyakit. Mereka tahu kau mencoba menutupi fakta dengan berpura-pura memanggil ambulance”.
Kumasukkan anak kunci ke induknya dan memutarnya. Dengan sekali dorong, daun pintu itu ternganga di hadapanku. Wangi bunga kamboja menyambutku. Detik-detik berikutnya, bayang-bayang itu kembali menari-nari di benakku.
“Bento, kuperingatkan kau, kembalikan semua milikku. Kau tamak. Kau kemari untuk menghabiskan yang sisa, dan kau akan menjadi kaya karenanya. Tapi kau takkan kuijinkan menjamahnya”.
Aku masih terpaku di ambang pintu itu, diliputi kebimbangan dasyat, antara masuk atau tidak. Bayang-bayang itu kembali menyerbuku.
“Kau kusapa kawan dan aku kau sapa sobat. Segelas kopi kita minum berdua, sebatang rokok kita isap bergantian. Tapi ternyata kau sembunyikan kebusukanmu di balik setiap senyummu yang ternyata palsu. Malam itu kusambut kau dengan senyum, tapi kau balas dengan seutas tali yang kau cekikkan pada leherku. Sekarang aku mau membalas mencekikmu. Tapi…tidak. Aku tidak mau membalas kebusukan dengan kebusukan. Aku tak ingin kebusukan tetap ada di bumi ini”.
Aku tersentak sambil memegangi leher sendiri. Wangi bunga kamboja kembali memasuki rongga hidungku. Tenggorokanku terasa kering, keringat membasahi sekujur tubuhku. Aku gemetar. Belum pernah kualami rasa takut sengeri itu. Kukumpulkan sisa kekuatanku dan berlari meninggalkan rumah itu, tanpa memperdulikan mata-mata yang memandangku keheranan.
Langkahku terhenti ketika satu suara menyapaku halus.
“Kak Bento!” Jantungku serasa berhenti berdenyut, darahku seolah berhenti mengalir. Aku terpaku menatap wajah lugu yang sedang menampakkan senyum yang tak kupahami maknanya.
“Mengapa kak berlari di siang bolong? Dikejar atau mengejar sesuatu? Aku tahu, kakak pasti bersedih atas kematian kak Johan”, katanya lagi. Kata-katanya terakhir itu kurasa bagaikan petir di siang yang terik ini.
“Ah Rini, kamu membuatku kaget saja. Memang sejak kepergian Johan, aku selalu kurang enak badan”, kataku menutupi kegugupanku.
“Oh….”, hanya itu yang keluar dari mulutnya. Ditariknya tanganku ke tepi jalan, menuju pedagang es yang menjajakan dagangannya di bawah pohon ketapang. Angin berhembus perlahan. Ia memesan minuman dingin itu dan memberikan segelas kepadaku. Kuminum es itu tanpa gairah.
“Kak Bento kok gelisah?”. Aku bak disetrum mendengar pertanyaan itu. Tubuhku serasa kaku. Detik-detik berikutnya, bayang-bayang itu kembali menghantuiku. Apakah ia telah membisikkan sesuatu kepada gadis ini? Entahlah… Rini tersenyum sinis.
“Kak, sepandai-pandainya menyembunyikan bangkai, akhirnya tercium juga”, katanya. Aku semakin kaku di hadapannya. Ia juga diam, seolah menyusun kata untuk mengadiliku. Aku deg-degan menantikan kelanjutan kata-katanya, yang tak kunjung keluar dari bibirnya. Ia mengalihkan pembicaraannya kepada hal lain, seolah mempermainkan perasaanku.
Rini memalingkan wajahnya ke arah lain. Lama. Lalu ia menarik napas panjang, dan berkata, tanpa memalingkan wajahnya padaku,
“Apa benar kak Bento berada di rumah kak Johan, ketika ia menghembuskan nafas terakhir?”. Pertanyaan itu penuh wibawa dan kurasakan sebagai awal dari pengadilanku.
“Rini, maafkan aku. Seandainya malam itu aku tidak meninggalkan dia untuk memanggil ambulance, pasti ia tidak keburu pergi. Tidak kuduga bahwa….”, aku tak bisa meneruskan kata-kataku, karena tak sanggup menentang nuraniku yang terus berteriak: ‘jangan berbohong’. Perlahan ia memalingkan wajahnya hingga tatapan kami beradu. Aku menunduk malu.
“Berhentilah bersandiwara, kak. Orang lain bisa kau tipu. Para dokter dan polisi bisa kau sogok untuk memanipulasi hasil penyidikan. Tapi aku dan kak Johan, tidak bisa kau tipu. Kaupun tak bisa menipu diri sendiri”, katanya. “Malam itu aku berada di rumah kak Johan. Dan aku berada di kolong tempat tidur ketika semua aksimu berjalan. Kak, mata ini menyaksikan sendiri kekejamanmu… Aku ingin berteriak ketika itu. Tapi aku takut; bukan takut mati, tapi takut kebenaran dikuburkan. Aku takut peristiwa ini menambah jumlah pemanipulasian kebenaran, lantaran kehilangan saksi. Aku takut bilangan penerima suap bertambah. Karenanya aku memilih diam. Tapi diamku bukan pengkhianatan terhadap orang yang kukasihi, yang dilenyapkan nyawanya di depan mataku. Tapi aku mau supaya kebobrokan yang selama ini terjadi dalam masyarakat kita dilenyapkan. Orang dapat dengan mudah melenyapkan kehidupan orang lain, lalu mengelabui hukum dengan kekayaannya, yang juga diperolehnya dari penipuan. Hukum hanya berlaku bagi orang kecil dan miskin. Masyarakat terlanjur berpresepsi bahwa banyak harta berarti kebal hukum. Dan… untuk semuanya ini sekarang aku berdiri di hadapanmu. Aku sadar, bahwa setelah mengucapkan kata-kata ini, kau akan mencekikku. Tapi aku rela mati demi sebuah keadilan”, ia mengakhiri kata-katanya. Kedua matanya menatapku garang. Mulutku bak disekap. Kuberikan kepadanya gelas es yang telah kosong isinya.
“Sahabatku, pukulkan gelas ini pada kepalaku hingga aku mati, sebab hanya itu yang pantas bagiku”. Kutadahkan kepalaku sambil menanti pukulannya, tapi ia meletakkan gelas itu.
“Kak, kejahatan tidak bisa diatasi dengan kejahatan dan kekerasan tidak bisa dihadapi dengan kekerasan. Aku tidak inginkan pembalasan, tetapi perubahan. Perubahan dalam diri kakak, dalam pola pikir masyarakat kita dan dalam penegakkan hukum di negeri ini. Aku yakin, kak Johan akan tersenyum di alam sana melihat kak Bento berubah”.
Kurangkul makhluk di hadapanku. Kurasakan secercah kasih yang selama ini hilang dari hidupku, direnggut ketamakanku. Kaka-katanya sungguh membuatku terlempar jauh ke dalam jurang penyesalan: “Kejahatan hanya bisa dikalahkan dengan kasih dan kekerasan hanya bisa luluh di hadapan kelembutan”. Benar. Dan aku ingin kembali kepada kasih. Dilepaskannya rangkulanku. Ia menatapku lembut. Sebuah senyum indah merekah disudut bibirnya, seolah mengatakan kepadaku, ‘Bayang-bayang itu takkan menggangumu lagi’. ***
Catatan Redaksi: Cerpen karya GS John