Tak Lari Dikejar, Pagi Menjemput (1)

oleh -698 views

Malam pada puncak heningnya. Tak ada suara, tak ada bunyi. Hanya jarum jam dinding yang berdetak mengukur malam yang mencekam.

“Kak, Nina takut pulang. Mereka pasti membunuh Nina”, bisik Nina mengimbangi detak jarum jam yang tak lelah berdetak. Selanjutnya hanya ada isak tangis yang menggantikan kebisuan dua anak manusia di dalam kamar tiga kali tiga meter itu. Lama. Lama sekali.

“Tapi sayang harus pulang”, bisik Johan kepada kekasihnya. Tetapi bisikan yang bernada bujukan itu hanya dijawab dengan gelengan gadis dalam dekapannya. Johan menatap gadis itu penuh kasih. Hatinya bagai teriris ketika melihat kaos yang dikenakannya basah oleh air mata sang kekasih.

“Kak, bawa Nina pergi. Tolong, kak, bawa Nina pergi”, pintanya sambil mempererat pelukannya.

“Ke mana?”, balas Johan sambil menatap gadis yang sangat dicintainya. Ada rasa cinta yang terpantul lewat tatapannya. Rasa cinta yang hanya bisa dimengerti oleh dia yang juga memiliki getaran yang sama. Demikian benarlah kata-kata penyair Spanyol abad XVI, bahwa cinta hanya bisa dimengerti oleh cinta.

“Bawa Nina ke mana saja, kak. Bawa Nina ke tempat yang jauh, dimana mereka tak bisa menemukan kita”.

Baca Juga:  Janji Janji Tinggal Janji

“Adik sayang, tataplah mata kakak. Cinta dan ketulusan kakak kepadamu masih ada di sana. Tapi kakak tidak mau melakukan ini. Kakak tidak mau membawa adik pergi begitu saja”, kata Johan sambil menarik napas. Ia menengadahkan wajahnya ke atas, membiarkan kelopak matanya menampung air mata yang terus mengalir.

“Seandainya cinta dapat disebut kesalahan, maka kita telah melakukan kesalahan terhadap orang tua dan semua yang telah melahirkan perbedaan di antara kita. Karena itu adik harus pulang. Kita pulang sebagai anak yang hilang, anak yang telah bersalah. Siapa tahu kita bisa mendapatkan belaskasihan”, katanya lagi.

“Itu tidak mungkin, kak. Mereka semua sudah bilang tak mau mengenalku lagi. Kak…. tolong jangan suruh Nina pulang. Nina tidak mau pulang, kak”, jawab Nina.

“Tapi lari dari rumah tidak akan menyelesaikan masalah, sayang. Rumah adalah tempat semua masalah dapat diselesaikan. Hanya di rumah, say”. Johan berusaha membujuk kekasihnya. Tetapi gadis itu tak mau bergeser dari pendiriannya. Ia tetap pada rasa takut yang mencekamnya. Seperti keheningan yang mencekam di malam yang kian temaram itu. Ia tetap pada tangis yang mengibakan pemuda yang mendekapnya, tepat pada hatinya.

Baca Juga:  Dikejar Bayang-Bayang

Sementara malam mulai beralih kepada paruhnya yang kedua. Dan keheningan kembali merajainya. Hening. Kosong. Hanya detak jarum jam itu, dan detak dua jantung yang menyatu sangat erat dan dekat di malam itu. Sedangkan pada langit-langit kamar, dua cecak berbaring tenang. Sangat tenang. Rasa lelah setelah berkejaran sepanjang hari terbalas sudah kini. Lunas. Tapi tidak bagi dua anak manusia itu. Rasa tenang yang mestinya ada di sana tak ada. Hilang. Sirnah. Oleh gundah gulana yang ditinggalkan oleh persoalan yang sedang di depan mata.

“Kalau begitu adik tinggal saja di sini bersama kakak?”, bisik sang pemuda. Yang ditanya membalas dengan gelengan.

“Kenapa?”, tanyanya lagi.

“Mereka akan datang dan membawa Nina pulang. Nina tidak mau, kak. Bawa Nina pergi”, jawabnya.

“Tapi ke mana?”, tanya Johan. Yang ditanya tidak menjawab. Dan keheningan itu kembali menguasai malam. Lama. Lama sekali.

“Besok pagi kita ke rumah kakak saja”, bisik Johan kemudian.

“Jangan, kak. Jangan ke sana. Nina malu pada orang tua dan keluarga kak”. “Lalu ke mana?”.

Sementara di luar, langkah-langkah kasar menghentak tanah mendekati pintu.  Dua mahkluk yang dicekam kegundahan itu saling memandang. Tanpa suara. Tak ada yang membuka mulut. Hanya bisa saling menatap. Tapi keduanya saling memngerti apa yang sedang berkecamuk di dalam pikiranmasing-masing, yang ingin diucapkan tapi tak sanggup diucapkan: “Mereka datang. Mati kita…”.

Baca Juga:  Tak Lari Dikejar, Pagi Menjemput (2)

“Nina…. Keluar kau, anjing. Perempuan macam apa kau? Tidak tahu malu. Buat apa kau di sini?”, seseorang berteriak kasar. Yang mendengar serasa ditampar.

“Kak…”, bisik gadis itu sambil memeluk kekasihnya erat, seolah mencari perlindungan, seperti anak-anak ayam yang bersembunyi di bawah sayap induknya ketika diintai rajawali.

Seorang pemuda menyerobot masuk ketika pintu dibuka. Plak… tinjunya mendarat di wajah Nina.

“Begini kau rupanya, bangsat… Kau harus mati malam ini. Pulang….”, katanya sambil menarik Nina ke luar. Sedangkan Johan hanya bisa terpaku menyaksikan semuanya. Juga ketika kekasihnya ditarik dengan kasar oleh adiknya, ia hanya bisa mengiringinya dengan tatapan kosong. Tak tahu apa yang harus dilakukannya. Sedangkan malam, oh malam, kenapa hanya ada keheningan di pelukanmu, sedang keributan dan kegundahan di haribaanku  tidak juga terusirkan? ** (bersambung ke bagian 2)

Catatan Redaksi: Novel Karya GS John yang kami turunkan berseri mulai edisi ini. Ini adalah Bagian Pertama. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.