Mengukir wajah dunia kesehatan bagi seorang SBS ibarat ikan yang berenang di derasnya arus ombak dan badai tanpa ada sedikitpun keraguan dan rasa takut di dalam dirinya, karena di tengah ombak dan badai itulah hidupnya.
Di tengah ombak dan badai itulah jiwanya terpatri. Dengan latar belakang pendidikan dokter dan berbekal pengalaman memimpin Dinas Kesehatan selama Dua Puluh Enam Tahun, baik ditingkat Kabupaten maupun Provinsi, keterampilan dan kelihaian tangan SBS memainkan kwas untuk memoles wajah dunia kesehatan di Malaka tidak diragukan lagi.
SBS mulai menata dunia kesehatan Malaka dengan langkah awal membersihkan butiran debu yang hinggap di atas kanvas putih dunia Kesehatan Malaka, yang disebut biaya pelayanan kesehatan. SBS membebaskan biaya berobat bagi seluruh rakyat Kabupaten Malaka, yang dibuktikan dengan kepemilikan E-KTP beralamat Kabupaten Malaka. Dengan kata lain, semua masyarakat Malaka boleh mendapatkan pelayanan kesehatan gratis di seluruh fasilitas kesehatan milik Pemerintah di Kabupaten Malaka, bahkan Atambua dan Kupang.
SBS lalu memoles wajah dunia Kesehatan Malaka dengan membangun fasilitas kesehatan di setiap jenjang. Gedung-gedung Puskesmas bertipe nasional dibangun. Tidak tanggung-tanggung, 20 puskesmas di 12 Kecamatan se-Malaka.
Rumah Sakit Umum Penyanggah Perbatasan pun dibenahi dan dikembangkan, sehingga menjadi tempat belajar bagi berbagai rumah sakit lain.
Tetapi bagi seorang SBS, pesawat yang paling canggih sekalipun tidak akan lebih dari seonggok besi tua jika tidak ada pilot dan pramugari. SBS paham benar bahwa fasilitas kesehatan yang sudah bagus ditambah sarana medis canggih yang ada tidak akan berguna tanpa tenaga dokter dan tenaga medis yang ahli dibidangnya.
Maka dokter-dokter spesialis pun didatangkan untuk menahkodai ‘Pesawat canggih’ fasilitas kesehatan yang ada.
Dokter-dokter spesialis itu, dan juga dokter-dokter umum, diikat dengan imbalan yang cukup membuat pening kepala orang yang tidak paham.
“Apa yang menarik para dokter ahli untuk mengabdi di pelosok seperti Malaka ini selain insentif dan fasilitas yang sebanding den gan pengorbanan mereka?”, kata SBS.
Dokter – dokter itupun berhak mendapatkan upah yang layak atas profesionalitasnya.
Namun bagi seorang SBS, bebas biaya pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia yang memadai belum otomatis menjamin mutu pelayanan kesehatan.
Maka mutu pelayanan kesehatan tersebut harus terus ditingkatkan dan diuji sesuai standar akreditasi pelayanan nasional. Dan akreditasi mutu pelayanan ini bukan perkara mudah, atau dalam bahasa SBS, bukan mimpi semalam.
Akreditasi itu adalah sebuah proses pembelajaran yang panjang. Itu butuh proses dan perlu berguru pada pengalaman puskesmas dan rumah sakit lain yang sudah terakreditasi dan perlu belajar dari para pakar.
Ini adalah proses panjang yang tidak hanya menguras tenaga, tetapi juga biaya. Ongkos belajar memang tidaklah murah, tetapi bagi SBS, belajar adalah investasi Sumber Daya Manusia yang sangat tinggi nilainya dan karena itu tidak mengenal istilah mahal.
Perjuangan melelahkan itu tidak sia-sia. 19 dari 20 Puskesmas di Malaka sudah terakreditasi di jaman kepemimpinan SBS. Sementara, 1 Puskesmas lagi, yaitu Puskesmas Alkani tertunda jadwal akreditasi karena Pandemi Corona Virus yang sedang mengguncang dunia.
RSUPP Betun melejit sebagai rumah sakit pertama di NTT yang mencapai tingkat tertinggi akreditasi rumah sakit edisi Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS). Karena prestasi ini, RSUPP menjadi guru bagi rumah sakit lain se NTT dalam proses akreditasi ini.
Penjelajah dunia yang menemukan Benua Amerika, Christophorus Columbus pernah dianggap tidak waras karena mencoba meyakinkan dunia dengan mengajarkan cara mendirikan telur tanpa memegangnya.
Columbus melakukan hal yang mustahil dan tidak akan dilakukan banyak orang karena kelihatan konyol dan tidak masuk akal. Tetapi ia akhirnya berhasil merubah pandangan dunia. Ia berhasil melakukan itu sehingga mengundang decak kagum dunia.
Seperti Columbus, SBS telah melakukan hal sederhana tetapi tidak akan dilakukan banyak orang karena tidak paham sehingga kelihatan mustahil dan tidak wajar.
Memimpin Malaka sebagai sebuah rumah tangga baru yang belum matang dalam hal keuangan, SBS malah mengambil kebijakan yang membebani khas daerah. SBS membebankan seluruh biaya pelayanan kesehatan masyarakat Malaka kepada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, SBS membangun fasilitas kesehatan berstandar nasional. SBS membeli peralatan medis yang canggih, SBS membayar mahal para dokter yang mau mengabdi di malaka.
Dan sebagaimana dunia kagum pada kecerdasan Columbus yang semula dianggap konyol, banyak kalangan mulai kagum pada ‘kegilaan’ SBS ini.
“Baru di Malaka ini saya alami, berobat bayar pakai foto copy KTP. Kami sangat senang, karena hanya bawa KTP saja kami sudah dapat pelayanan kesehatan, bahkan sampai dirujuk ke Atambua dan Kupang juga gratis”. Begitulah cara rakyat mengagumi ‘kegilaan’ SBS.
“Kami tidak malu belajar dari anak bungsu. Kami salut dengan keberhasilan adik bungsu kami dalam mengelolah rumah sakit. Tunjukkan kepada kami jalan menuju keberhasilan itu”. Itu diungkapkan pimpinan rumah sakit dari daerah lain yang datang belajar di RSUPP Betun.
Demikian penggalan ungkapan rasa kagum mereka yang datang berguru pada ‘kegilaan’ seorang SBS.
Dan ternyata inilah rahasia sukses dibalik keberhasilan kebijakan gila seorang SBS, arsitek yang dimandati rakyat untuk mengukir wajah Malaka: “Uang rakyat harus kembali kepada rakyat. Untuk rakyat tidak ada kata mahal, untuk rakyat tidak boleh ada istilah tidak ada uang”.
“Karena membangun kesehatan itu adalah mengurus umat manusia, sehingga tidak boleh ada apapun yang bisa membatasi, apalagi menghalangi upaya membangun kesehatan”, Kata SBS.* (bersambung)