Oleh: Dr. Yohanes Bernando Seran, SH., M.Hum
Dalam konteks penanganan dan penyelesaian kasus korupsi kearah “Asset Recovery” sebagaimana dikehendaki Presiden Prabowo dengan cara memberi pengampunan kepada koruptor asalkan dapat mengembalikan keuangan negara yang dikorupsi, Presiden Prabowo dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu). Langkah terobosan hukum ini adalah legal dan konstitusional karena dapat memberi kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat.
Perpu tersebut dapat mengatur secara detail penyelesaian kasus korupsi melalui mekanisme pengembalian aset, permintaan maaf kepada masyarakat Indonesia dan pengaturan lain tentang hukuman jika ada koruptor yang mengulangi perbuatannya.
Selain langkah cepat dapat diambil Presiden Prabowo melalui Perpu, hukum juga memberi ruang kepada Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan untuk membuat kebijakan eksekutif yang bertujuan untuk penyelesaian kasus korupsi melalui mekanisme “Asset Recovery”. Presiden Prabowo dapat melaksanakan amanat konstitusi untuk dapat mengurangi hukuman dan atau membebaskan sama sekali para napi melalui mekanisme grasi, amnesti dan abolisi sebagai mana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945.
Dalam tataran ini tanggapan Prof. Mahfud yang seolah menyalahkan langkah Presiden Prabowo menunjukkan adanya konstruksi pemikiran Prof. Mahfud yang tidak holistik, tidak komprehensif bahkan dapat menyesatkan masyarakat. Prof. Mahfud mengkonstruksi pendapatnya berdasarkan UU yang hirarkinya dibawah UUD sesuai asas hukum Lex superior derogat legi inferiori. Pengaturan dalam UU yang bertentangan dengan UUD dengan sendirinya batal demi hukum (dapat dikesampingkan).
Terobosan hukum yang dilakukan Presiden Prabowo untuk memaafkan koruptor asalkan mengembalikan keuangan negara adalah konstitusional dan dibenarkan dalam terminologi Hukum Ketatanegaraan karena Presiden sebagai Kepala Pemerintahan/Kepala Negara dan eksekutif tertinggi dapat mengambil langkah diskresi sesuai prinsip Pouvoir discretionnarie (discretionary power). Prinsip ini menurut Prof. Bagir Manan memberi kewenangan keleluasaan kepada Presiden untuk tidak selalu terikat pada produk legislasi termasuk UU jika ada keadaan overmacht, untuk kepentingan umum dan adanya kevakuman hukum secara kumulatif.
Dengan demikian pernyataan Prof. Mahfud dan lainnya yang menyalahkan langkah Presiden Prabowo yang hendak memberi pengampunan kepada koruptor asal mengembalikan keuangan negara yang dikorupsi adalah pernyataan yang selain menyesatkan juga tidak berdasarkan hukum dalam arti yang sesungguhnya (das sollen). Karena tujuan tertinggi dari hukum adalah Keadilan dan Presiden Pabowo sedang dalam pendakian menuju keadilan itu sendiri yang merupakan langkah baik Presiden untuk mengembalikan aset negara yang dikorupsi untuk kepentingan masyarakat banyak sebab sesungguhnya apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum itu sendiri (Equum et bonum est lex legum).*