Sakunar — Mantan Direktur Utama (Dirut) Bank NTT, DTG mengancam akan melaporkan narasumber tim media ini. DTG menyampaikan ancaman tersebut saat dikonfirmasi terkait dugaan kerugian Bank NTT gegara relokasi Kantor Cabang Surabaya.
Ketika dikonfirmasi tim media ini terkait kasus sewa gedung Kancab Surabaya pada Sabtu (12/2/2023), mantan Dirut Bank NTT, DTG balik bertanya kepada wartawan.
“Kenapa tanya sekarang, maksudnya apa? Apakah karena opini saya kemarin? Jangan coba-coba bermain dengan trial by the press. Mengapa sekarang Febian tanyakan? Ada apa?” tulisnya.
Saat disampaikan bahwa ada permintaan LSM Anti Korupsi kepada Kejati NTT untuk Lidik kasus gagal sewa Kancab Surabaya, DTG bertanya lagi.
“LSM yang mana? Sebutkan?” tanyanya kepo.
Setelah disebutkan dan dijelaskan bahwa permintaan tersebut berdasarkan LHP BPK RI tahun 2020, DTG mengatakan, “Jangan lapor-lapor sembarangan kalau mereka tidak tahu duduk persoalan sesungguhnya,” ujarnya menantang.
Bahkan DTG juga mengancam untuk memproses hukum Narasumber.
“Memangnya saya tidak ada hak menuntut? Dibully terus dengan berita yang tidak berkualitas,” ancamnya.
Menurut DTG, semua dokumen terkait hal itu sudah diserahkan ke Kejaksaan Tinggi. “Dan tidak ditemukan unsur pidana Korupsi,” tandasnya.
Namun saat ditanya tentang penyetoran kembali uang ganti rugi ke Jaksa Pengacara Negara, DTG membantah adanya kesepakatan dengan jaksa pengacara negara untuk menyetor kembali dana sewa sekitar Rp 7,5 M.
“Jangan sembarangan tuduh saya Korupsi, enak saja menuduh korupsi. Setor apa? Saya tidak setor apapun. Memangnya saya makan duit itu? Ngaco aja. Tidak ada, saya tidak pernah buat kesepakatan,” ujarnya berkelit.
Walaupun DTG sedang dikonfirmasi, Ia masih mengingatkan agar wartawan memberitakan secara berimbang.
“Ingat Febian, cover both side, jangan saya yang ditanyakan masalah ini, karena urusan Cabang Surabaya timbul masalah setelah saya diberhentikan. Kalau saya masih menjabat tidak akan terjadi seperti itu,” tangkisnya.
Saat disampaikan bahwa mantan Dirum AC telah menyetor kembali uang senilai Rp 500 juta kepada Jaksa Pengacara Negara, DTG mengatakan,
“Ohh saya tidak tahu itu. Begitu ya Febian, saya ada kegiatan ya. Terima kasih,” tulisnya.
Ketika disampaikan bahwa BPK RI dalam LHP-membeberkan bahwa DTG dan AC yang menandatangani kontrak sewa tersebut, Ia mengakuinya. “Iya, tandatangan kontrak dengan maksud Baik. Bukan niat Korupsi,” tegasnya.
Menurut DTG, Kerjasama dengan Hotel Garden Palace dihadiri oleh Gubernur NTT waktu itu dan beberapa Bupati NTT. “Tidak ada yang salah dengan itu,” tandasnya.
DTG membantah dirinya melanggar aturan perbankan dalam kasus gagal sewa Kancab Surabaya (yang merugikan Bank NTT Rp 7,5 M, red) karena menandatangani kontrak tanpa kajian direktur kepatuhan dan ijin OJK sehingga OJK menolak pemindahan Kancab Surabaya.
“Bukan langgar aturan. Direktur Kepatuhan waktu itu yang tidak mau terbitkan Compliance Check List yaitu Check List Persiapan Pemindahan Kantor, ini duduk soalnya,” katanya.
Ia juga membantah bahwa OJK menolak pemindahan Kancab Surabaya dan juga membantah bahwa pemindahan itu tanpa kajian Direktur Kepatuhan. “Hahahaha bukan OJK menolak Sewa, tolong luruskan itu. Karena OJK menunggu Compliance Checklist dari Direktur Kepatuhan tetapi Direktur Kepatuhan menolak. Salah lagi. Hehehehe. Ada kajian kok,” katanya.
Setelah disampaikan bahwa BPK RI mengungkapkan adanya surat penolakan OJK, DTG berbalik mengakuinya.
“Iya tetapi itu setelah saya diberhentikan khan? Apakah salah saya? Baca baik-baik semua dokumen itu Febian. Biar kebenaran diungkap,” ujarnya.
Wartawan pun menjelaskan bahwa pemberitaan itu berdasar LHP BPK RI dan Laporan Divisi Pengawasan dan Sky Bank NTT. DTG pun pamit untuk melanjutkan kegiatannya.
“Baik Febian. Saya lanjut kegiatan dulu,” ujarnya menutup wawancara.
Diberitakan sebebelumnya, aktivis anti korupsi mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTT untuk segera melakukan penyelidikan kasus sewa Kantor Cabang (Kancab) Surabaya, yang diduga merugikan Bank NTT sekitar Rp 7,5 Milyar.
Kerugian Bank NTT gegara sewa Kantor Cabang Surabaya senilai 7,5 M tersebut berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Tahun 2020 (Nomor: 1/LHP/XIX.KUP/01/2020).
Sewa gedung Kantor Cabang Surabaya tersebut diduga melibatkan mantan Direktur Utama (Dirut) Bank NTT, DTG dan mantan Direktur Umum (Dirum), AC.
Aktivis anti korupsi yang menyampaikan desakan tersebut adalah Ketua Kompak Indonesia, Gabriel Goa, dan Ketua NTT Bergerak, Yohanes Hegon Kelen Kadati.
“Kami minta Kajati NTT untuk melanjutkan penyelidikan kasus sewa Kantor Cabang Surabaya. Kenapa didiamkan hingga 3 tahun? Padahal menurut LHP BPK RI Tahun 2020, kerugian bank NTT sekitar Rp 7,5 M. Ada apa ini? Kita harap Kejati NTT tidak ‘masuk angin’ sehingga bisa Lidik kasus ini,” ujar Gabriel yang juga Ketua Dewan Penasehat PADMA Indonesia, Jumat (10/02/23).
Menurutnya, kegagalan sewa itu merupakan kesalahan fatal mantan Dirut DTG dan mantan Dirum, AC.
“Belum dapat ‘lampu hijau” dari Direktorat Kepatuhan dan Izin OJK tapi beraninya DTG dan AC tanda tangan kontrak dan bayar Rp 7,5 M kepada Hotel Green Palace,” ujarnya.
“Akhirnya pemindahan Kancab Surabaya itu ditolak OJK dan uang sekitar Rp 7,5 M itu hilang begitu saja,” lanjut dia.
Senada dikatakan Ketua NTT Bergerak, Yohanes Hegon Kelen Kedati.
“Saya heran, kenapa Kejati NTT ‘diamkan’ kasus ini? Penanganannya sudah 3 tahun tapi dibiarkan begitu saja. Ada apa ini? Padahal ada debitur Bank NTT yang baru Tunggak 28 hari sudah diproses hukum dan dijebloskan ke penjara? Lalu kenapa Kejati NTT menonton kasus yang sudah ada di depan batang hidungnya?” kritik Kedati.
Ia meminta Kajati NTT tidak pilih kasih dalam penyelidikan dugaan kasus korupsi.
“Informasinya, pihak-pihak yang terlibat sudah sempat dipanggil Kejati? Ini mesti ditindaklanjuti Pak Kajati. Apalagi sudah ada temuan dalam LHP BPK RI,” tandasnya.
Menurutnya, kasus gagal sewa tersebut merupakan total lost.
“Sesuai temuan BPK RI ada uang sewa yang sudah dibayarkan terlebih dahulu sekitar Rp 7,5 M. Itulah total lost karena gedung itu dikontrak sekitar 5 tahun dengan total nilai kontrak sekitar Rp 10 Milyar dan gedung itu tidak digunakan sama sekali,” bebernya.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengungkapkan bahwa rencana relokasi Kantor Cabang Surabaya tidak melalui perencanaan yang memadai.
Rencana relokasi Kantor Cabang Surabaya tersebut Tidak mendapat persetujuan Direktur Kepatuhan dan OJK serta membebani keuangan bank NTT Rp 7.469.000.000 (Rp 7,46 M).
Berdasarkan LHP BPK RI Nomor: 1/LHP/XIX.KUP/01/2020 atas Dana Pihak Ketiga dan Penyaluran Kredit Komersil, Menengah dan Koorporasi Tahun 2018-2019 (s.d. Semester 1), tertanggal 14 Januari 2020.
Menurut BPK RI, telah terjadi pelanggaran Peraturan BI Nomor: 22/21/PBI/2010 Bab II tentang Cakupan Rencana Bisnis dan melanggar Peraturan BI Nomor: 13/27/2011 tentang Bank Umum Bab V tentang rencana pembukaan, perubahan status, pemindahan alamat dan/atau penutupan Kantor Bank.
Permasalahan tersebut mengakibatkan sewa gedung senilai Rp 7,468 M membebani keuangan Bank NTT.
Menurut BPK RI, Dirut Bank (Tahun 2019, red) menyatakan sependapat dengan temuan BPK RI dan menyatakan telah bekerjasama dengan Kejati NTT dalam penyelesaian masalah tersebut.
BPK RI merekomendasikan agar Dirut segera memutuskan perjanjian sewa kantor dan tidak menyelesaikan disisa pembayaran sewa.*(JoGer)