Malaka, Sakunar — Sistem penggunaan lahan milik masyarakat oleh PT. Inti Daya Kencana (IDK) untuk ladang tambak garam industri di Wewiku, Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur bakal berubah skema. Sebelumnya, skema yang digunakan adalah bagi hasil. Namun akhir-akhir ini skema tersebut menuai protes dari banyak pemilik lahan. Pasalnya, hampir Enam tahun kehadiran PT. IDK, hasil yang ditunggu-tuntgu masyarakat tidak kunjung datang. Karena alasan ini, masyarakat pemilk lahan menolak skema bagi hasil ini.
Atas reaksi penolakan pemilik lahan ini, PT. IDK selaku investor tambak garam menawarkan skema baru, yakni perjanjian sewa lahan. Investor menawarkan agar lahan milik masyarakat yang telah diserahkan untuk ladang tambak garam industri disewa untuk jangka waktu 20 tahun. Namun, PT. IDK akan membayar sewa tersebut setiap 3 tahun.
Demikian terungkap dalam Rapat Mediasi antara pemilik lahan dengan PT. IDK yang diprakarsai dan dipimpin Pemda Kabupaten Malaka. Rapat tersebut telah digelar di Ramayana Hotel Betun, Kamis (16/12/2021). Rapat tersebut dihadiri hanya 3 orang dari 12 Fukun Bauna Weoe dan kurang dari 30 orang pemilik lahan dari Desa Weoe dan Weseben.
Dalam rapat tersebut terungkap, bahwa sebelumnya telah terjadi pertemuan antara beberapa pemilik lahan dan PT. IDK di kediaman Bupati Malaka di Weleun, Desa Bakiruk, Kecamatan Malaka Tengah. Dan dalam pertemuan di Kediaman Bupati tersebut, kata Manejer PT. IDK, Sang Putu Mahardika, pihaknya merumuskan draft perjanjian sewa penggunaan lahan yang dibacakan dalam rapat mediasi tersebut.
Dalam perjanjian sewa penggunaan lahan tersebut terungkap, perjanjian sewa selama 20 tahun tersebut dapat diperpanjang sesuai pemberitahuan dari PT. IDK.
Sedangkan terkait nilai sewa, kata Sang Putu Mahardika ketik membacakan draft perjanjian, disesuaikan dengan ketentuan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Jadi, penetapan nilai sewa bukan berdasarkan keinginan pemilik lahan atau keinginan PT. IDK sebagai investor.
Terkait perubahan skema ini, juru bicara pemilik lahan dari Desa Weoe, Angga Seran, SH dan pemilik lahan, Yohanes Manek mengku keberatan. Keberatan tersebut disampaikan keduanya secara terpisah kepada sakunar, Kamis (16/12/2021).
“Kenapa sewa lahan selama 20 tahun tetapi bayarnya setiap tiga tahun? Ada apa ini? Apalagi perjanjian tersebut tidak pernah mengatur tentang hukuman jika PT. IDK mangkir membayar pada 3 tahun berikutnya. Jangan menjebak kami masyarakat bodoh ini. Jangan pula berpura-pura baik dengan mengtakan kaaihan rakyat kalau 3 tahun berikutnya harga tanah naik”, ujar Angga Seran, SH kepada Sakunar di Weoe.
Menurut Angga, kalusur tentang perpanjangan sewa setelah 20 tahun pun terkesan menjebak pemilik lahan. Pasalnya, point tersebut hanya mengatur bahwa perpanjangan sewa berdasarkan pemberitahuan dari PT. IDK. Tidak menyebut pemilik lahan sama sekali. Bagaimana kalau setelah 20 tahun pemilik lahan tidak mau lagi perjanjian sewa lahannya diperpanjang?
Dalam kesempatan tersebut, Angga juga mengklarifikasi mengapa dirinya dan banyak pemilik lahan tidak hadir dalam Rapat Mediasi yang diprakarsai Pemda Malaka tersebut. Angga mengaku, pihaknya tidak menerima undangan langsung dari Pemda Malaka.
“Yang mengundang kan Pemda Malaka, karena kopnya Setda Malaka dan ditandatangani Sekda Malaka. Kok saya dapatnya dari pak Putu (Sang Putu, red) lewat WA. Apakah itu undangan resmi? Ini yang orang Malaka bilang kami tahunya di jalan”, tandasnya.
Betikut, lanjut dia, Fukun Tolus Bauna Weoe dan pemilik lahan telah beberapa kali mengadakan rapat dengan PT. IDK di Rumah Adat Laetua Weoe tetapi selalu tidak ada hasil. Malah, lanjut dia, ada kesan pemilik lahan ditipu. Alasannya, apa yang disampaikan pemilik lahan selav7lu dijawab perwakilan IDK bahwa ditampung untuk diperoleh jawaban dari petinggi IDK. Nyatanya jawaban itu tak pernah ada.
“Lalu yang berikut, yang butuh lahan siapa? Kami sebagai pemilik lahan yang butuh atau IDK yang butuh? Kenapa mau ambil kami punya lahan tapi kami yang harus pergi? Kami mau supaya sesuai tradisi kami, masalah ini dibahas di Rumah Adat Laetua Weoe. Kenapa? Karena ini masalah tanah ulayat kami. Ini tradisi kami dan tolong hargai”, tegasnya.
Angga juga menduga ada maksud tertentu dibalik pertemuan mediasi yang diprakarsai Pemda Malaka tersebut. Pasalnya, utusan yang dihadirkan dalam pertenuan tersebut, baik Fukun maupun pemilik lahan perorangan, hanya beberapa orang yang dipilih tanpa sepengetahuan Fukun dan Pemilik Lahan.
“Agak aneh. Mau bertemu untuk selesaikan masalah tapi pilih-pilih orang. Orang-orang yang hadir juga kami tidak tahu siapa yang ajak ke sana. Kalau ada orang yang selama ini tidak pernah tahu masalah tambak garam lalu urus ini masalah, 99 persen saya yakin bahwa masalah tidak akan selesai dan malah menambah masalah”, ujarnya.
Sementara, Yohanes Manek, salah satu pemilik lahan mengaku keberatan dengan penetapan nilai sewa berdasarkan NJOP dan sistem pembayaran setiap 3 tahun. Menurut dia, nilai sewa berdasarkan NJOP terlalu kecil dan pemilik lahan akan rugi ketimbang lahannya dikelolah sendiri.
“Saya curiga nilai sewanya kecil dan pembayarannya tidak jelas. Maka akan lebih untung kalau tanah kami kelola sendiri untuk tambak ikan atau lain-lain. Nilai sudah kecil, bayar cicil lagi”, ujar Manek.
Karena alasan tersebut, Manek mangaku, dirinya lebih memilih menarik pulang lahannya untuk dikelola sendiri. Apalagi, tanah miliknya seluas 3 hektar tersebut diambil PT. IDK tanpa sepengetahuannya. Padahal, Manek mengaku memegang sertifikat atas tanah tersebut dan rutin memenuhi kewajibannya membayar pajak bumi dan bangunan.
Manek juga menyentil, alasan lain mengapa dirinya lebih memilih menarik pulang lahannya. Alasannya adalah karena dalam draf perjanjian tidak disebutkan kerugian masyarakat selama 6 tahun lahannya dikuasai IDK tanpa hasil.
“Karena itu, lebih baik saya ambil pulang saya punya tanah untuk buat tambak ikan kah atau mau buat apa kah. Daripada nilai sewa sudah kecil, bayarnya cicil pula”, tutupnya.*(JoGer)