Sakunar.com — Sengketa Tanah selalu mewarnai setiap kepemilikan tanah pada masyarakat yang kerap terjadi di tingkat Desa. Baik itu sengketa yang terjadi antar individu, antara masyarakat maupun masyarakat dengan pihak perusahaan sehingga perlu penyelesaian untuk mencegah terjadinya konflik pertanahan. Dalam pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menyatakan bahwa: “dalam melaksanakan tugasnya, kepala desa berkewajiban menyelesaikan perselisihan masyarakat di desa”.
Hal demikian juga terdapat dalam pasal 15 Ayat (1) PP Nomor 72 Tahun 2005 inilah yang menjadi dasar kewenangan Kepala Desa dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah yang terjadi di Desa.
Adapun Proses Penyelesaian sengketa tanah di Desa haruslah dilakukan melalui Mediasi. Mediasi dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu;
- Pra mediasi,
- Tahap pemanggilan,
- Tahap mediasi,
- Tahap mendengarkan keterangan para pihak yang bersengketa,
- Tahap membuat kesepakatan antar para pihak yang bersengketa,
- Tahap perundingan dan yang terakhir pengambilan keputusan.
Hasil keputusan mediasi di buatkan Surat Pernyataan Tanah (SPT) sebagai bukti peryataan tanah yang dimiliki.
Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan kesatuan dan lebih lengkapnya disebut dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasal 1 Ayat (1) Undang – Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan dengan jelas bahwa “Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Negara kesatuan menempatkan pemerintah pusat sebagai otoritas tertinggi, sementara wilayah-wilayah administratif di bawahnya hanya menjalankan kekuasaan yang dipilih oleh pemerintah pusat. Apabila diurutkan tatanan pemerintahannya dari yang tertinggi hingga yang terendah, maka yang memiliki jabatan tertinggi dipegang oleh Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan, dan yang paling bawah adalah pemerintahan tingkat desa yang dipimpin oleh Kepala Desa.
Khusus untuk pemerintahan tingkat desa yang di pimpin oleh seorang Kepala Desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 (UU Desa) menyebutkan bahwa:
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa di atas yang menyatakan bahwa : “desa juga berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan maupun kepentingan masyarakatnya”. Maka dapat diartikan bahwa Kepala Desa ataupun perangkat desa lainnya memiliki kewenangan untuk menyelesaikan apabila terjadi perselisihan di desa.
Sama halnya dengan kepala Desa di Kabupaten Malaka – NTT yang berkesempatan untuk melaksanakan kewenangannya dalam menyelesaikan perselisihan masyarakat di desa. Salah satunya yaitu penyelesaian Sengketa Tanah antar Warga yang terjadi di Desa. Tanah mempunyai arti dan peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena semua orang memerlukan tanah sebagai tempat hidupnya sampai dengan meninggal dunia.
Dewasa ini sering terjadi sengketa tanah di dalam masyarakat, baik sengketa antara individu dengan individu, maupun antara individu dengan kelompok masyarakat, juga antara masyarakat dengan perusahaan, dan antara masyarakat dengan pemerintah.
Sehingga dapat mengakibatkan rusaknya keharmonisan hubungan sosial dalam masyarakat.
Hampir di setiap daerah di Kabupaten Malaka terdapat sengketa tanah dan penyelesaiannya oleh segenap masyarakat dilakukan dengan berbagai cara. Ada banyak pilihan bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan masalahnya, Sebagian masyarakat memilih cara-cara penyelesaian masalah melalui lembaga peradilan (litigasi), sebagian lagi memilih cara-cara penyelesaian di luar peradilan (non-litigasi) seperti mediasi, konsiliasi, dan negosiasi.
Demikian pula halnya dengan masyarakat di Kabupaten Malaka dalam penyelesaian kasus sengketa tanah Pertanian yang terjadi, mereka lebih memilih penyelesaian melalui Kepala Desa, karena Kepala desa
berwenang menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi antar warganya dengan jalan musyawarah mufakat (mediasi).
Metode Yang Digunakan;
Metode yang digunakan dalam menggunakan Metode Yuridis Empiris yaitu metode penulisan yang menekankan peraturan perundangan yang berlaku serta penerapan dalam hukum dalam masyarakat secara sosiologi hukum. Pendekatan Yuridis Empiris yang digunakan adalah dalam menganalisis permasalahan dalam
jurnal ini dengan memadukan bahan Hukum yang merupakan Data Sekunder dengan data Primer yang di peroleh di lapangan yaitu proses Penyelesaian Sengketa Tanah Oleh Kepala Desa Melalui Mediasi.
Kewenangan Kepala Desa Dalam Menyelesaikan Sengketa Tanah di Desa;
Sengketa tanah merupakan perselisihan kepemilikan atau penguasaan antara
orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio – politik. Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, pidana, terkait dengan kepemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan, dan sengketa hak ulayat. Ada dua istilah mengenai sengketa pertanahan yaitu sengketa pertanahan dan konflik pertanahan, walaupun kedua istilah tersebut merupakan kasus pertanahan, namun dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, jelas membedakan kedua istilah tersebut. Pada Pasal 1 ayat (2) dan (3) diterangkan bahwa :
1) Sengketa pertanahan yang selanjutnya disingkat sengketa adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio – politik.
2) Konflik pertanahan yang selanjutnya disingkat konflik adalah perselisihan
pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan
hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak
luas secara sosio – politik.
Berdasarkan penjelasan tentang pengertian kedua istilah tanah di atas, maka dapat diidentifikasi bahwa masalah tanah yang terjadi di Desa adalah sengketa tanah, karena yang terjadi adalah masalah tanah antara orang perseorangan (sengketa tanah hak individu/Tanah Pertanian), yang tidak menimbulkan efek sosial kemasyarakatan yang meluas sebagaimana konflik pertanahan. Sengketa tanah yang terjadi hanya berdampak atau memiliki pengaruh terhadap masing-masing pihak yang bersengketa dan bukan pada
tanah yang memiliki fungsi sosial yang dapat menimbulkan masalah yang meluas.
Adapun yang menjadi dasar hukum atau dasar kewenangan Kepala Desa dalam menyelesaikan sengketa tanah adalah berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, yang sama-sama membahas tentang tugas dan wewenang seorang kepala desa. Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa : “dalam rangka pelaksanaan tugas kepala desa di bidang pembinaan kemasyarakatan desa”. Hal ini terdapat dalam Pasal
26 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menyatakan bahwa : “dalam melaksanakan tugasnya, kepala desa berkewajiban menyelesaikan perselisihan masyarakat di desa”. Hal demikian juga terdapat dalam pasal 15 Ayat (1) PP Nomor 72 Tahun 2005. Pasal dan ayat inilah yang menjadi dasar kewenangan Kepala Desa dalam menyelesaikan kasus sengketa tanah yang terjadi di Desa.
Berdasarkan ketentuan ketentuan
pasal 26 Ayat 4 Undang –undang Nomor 6 tahun 2014 inilah Kepala desa mempunyai kewenangan dalam menyelesaikan sengketa tanah yang terjadi antara warga di desa.
Penyelesaian sengketa tanah merupakan sebuah upaya dalam mencegah terjadinya konflik pertanahan yang terjadi di desa sehingga upaya dan peran kepala desa sangat penting dalam menyelesaikannya. Adapun upaya yang dilakukan kepala desa dalam proses penyelesaian sengketa tanah yaitu dengan menjadi mediator melalui jalur mediasi.
Untuk sengketa yang diselesaikan oleh Kepala Desa biasanya dibantu oleh Sekdes, Kaur, beserta Ketua RT.
Adapun upaya yang dilakukan oleh Kepala Desa apabila diminta untuk menyelesaikan sengketa tanah yaitu berupaya untuk diselesaikan dengan cara mediasi.
1) Tahap Permohonan.
Pada tahap ini salah satu pihak yang merasa dirugikan datang ke Kepala Desa untuk melapor atau mengajukan permohonan, agar Kepala Desa bersedia menjadi mediator untuk menyelesaikan sengketa atau kesalahpahaman yang terjadi dengan adil dan bijaksana. Karena Kepala Desa dianggap mampu untuk menyelesaikan sengketa
tanah yang terjadi antara mereka.
2) Tahap Pra Mediasi
Pada umumnya di dalam menyelesaikan sengketa dengan mediasi dikenal tahap
yang pertama adalah pra mediasi, dalam tahap ini yaitu mensyaratkan kepada para pihak haruslah sepakat untuk menyelesaikan sengketa antara mereka dengan jalan mediasi dihadapan seorang mediator. Sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh
Kepala Desa.
3) Tahap Pemanggilan
Setelah dilakukan tahap pra mediasi, selanjutnya yang harus dilakukan adalah tahap pemanggilan, yaitu Kepala Desa memanggil secara lisan (tidak ada surat pemanggilan khusus) pihak-pihak yang bersengketa dan beberapa saksi, kepala desa didampingi oleh Ketua RT, Kaur Desa, dan Sekretaris Desa agar bisa memulai untuk mendiskusikan tentang permasalahan yang ada berdasarkan laporan atau permohonan
yang telah diajukan/disampaikan sebelumnya.
4) Tahap Mediasi
Setelah melalui beberapa tahap di atas, maka proses selanjutnya adalah memasuki tahap inti mediasi. Tahap mediasi yang dilakukan dimulai dengan mediator (Kepala Desa) memberikan kesempatan yang sama kepada kedua belah pihak untuk menyampaikan permasalahan dari sudut pandang masing-masing. Setelah itu, keinginan para pihak disimpulkan oleh mediator, kemudian diberikan lagi kesempatan kepada para pihak untuk memberikan timbal balik masing-masing satu kali, dan setelah itu mediator kembali menyimpulkan. Lalu setelah menyimpulkan apa yang telah disampaikan oleh masing-masing pihak tadi, mediator menawarkan solusi sebagai jalan tengah dari permasalahan tersebut. Kemudian para pihak diberikan kesempatan untuk setuju atau tidak terhadap tawaran mediator dan masing-masing pihak juga diberi kesempatan untuk diberikan tawaran jalan keluar apabila tidak sepakat dengan tawaran mediator.(Nando).