Transaksi MTN Bank NTT: Risiko Bisnis Ataukah Kerugian Negara?
Bank NTT melalui pengacara dan tim legalnya (telah) memberikan pernyataan resmi terkait transaksi Medium Term Notes, MTN Bank NTT yang terjadi pada 2018 melalui Media Selatan Indonesia, 14 Juni 2022. Tujuannya meluruskan pandangan miring publik.
Poin pernyataan itu sebagai berikut: Transaksi Surat Berharga Bank NTT telah terjadi sejak 2011 dan dilakukan sesuai ketentuan (internal) dari PT. Tim legal Bank NTT menyampaikan: “sama halnya transaksi dengan PT. SNP finance sesuai prosedur, metode dan cara yang sama PT BPD NTT telah mendapatkan keuntungan kurang lebih Rp. 1.000.000.000.000, (Satu Triliun Rupiah.) Dan pada tahun 2018 baru terjadi risiko bisnis dengan PT SNP Finance senilai Rp. 50.000.000.000 (lima puluh miliar).”
Melalui media yang sama pengacara dan Tim legal Bank NTT menyampaikan beberapa landasan hukum transaksi MTN 2018 seperti: Keputusan Direksi PT. Bank NTT Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Bidang Treasury. SK Direksi PT. BPD NTT Nomor 55 Tahun 2013, tentang Perubahan Lampiran (Bab II Huruf B, C, D, E dan lampiran huruf B Nomor 1 dan 2 pada Keputusan Direksi Nomor 43 Tahun 2011. Surat Keputusan Direksi PT. Bank Pembangunan Daerah NTT Nomor 136 Tahun 2018 Tentang Perubahan Keputusan Direksi Nomor 55 Tahun 2013 tentang Perubahan Keputusan Direksi Nomor 55 Tahun 2013). UU Perbankan, UU Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia dan masih banyak landasan hukum yang disebutkan (LHP BPK RI Tahun 2020).
Dari pernyataan resmi Bank NTT itu telah banyak tanggapan setuju atau tidak setuju MTN sebagai risiko bisnis atau kerugian negara. Melalui pernyataan tim legal Bank NTT publik memeroleh dua faktum resmi terkait transaksi MTN sebagai berikut: Fakta pertama, bisnis surat berharga Bank NTT pada 2011 telah memberikan keuntungan (sangat) besar, i.e. satu triliun rupiah dan transaksi MTN pada 2018.
Menurut pengacara dan tim legal bank NTT kedua jenis bisnis di atas menggunakan prosedur, metode, dan cara yang sama. Semua transaksi telah dilakukan uji tuntas atau due diligence seperti terurai di media Selatan Indonesia. Namun, khusus transaksi tahun 2011 mereka tidak merinci detailnya.
Fakta kedua, landasan peraturan/ normatif MTN Bank NTT terbagi atas dua area kewenangan (kekuatan mengikat peraturan) yaitu a) Peraturan internal bank NTT misalnya, SK Direktur BPD NTT Nomor 136 tahun 2018. b) Peraturan Eksternal seperti uu perbankan, uu bi, uu ojk. Beda landasan peraturan iternal dan eksternal di atas dari kekuatan mengikatnya. Misalnya SK Dir. Bank NTT hanya mengikat ke dalam Bank NTT saja. Pengacara dan Tim legal bank NTT tidak rinci atau detail pasal atau teks yang mendukung pernyataan mereka atau fakta original yang mereka miliki jika dibandingkan dengan rincian informasi LHP BPK RI NTT Tahun 2020.
Pengacara dan tim legalnya juga tidak menyebut atau membantah secara langsung pada bagian mana LHP BPK RI NTT Tahun 2020 yang tidak sesuai landasan peraturan dirujuk atau tidak sesuai fakta yang mereka miliki. Faktum di atas menjelaskan posisi bank NTT yang kontras atau bertentangan terhadap LHP BPK RI NTT tahun 2020.
Menurut LHP BPK RI, pembelian MTN PT. SNP senilai 50 Milyar untuk jangka waktu 24 bulan dan nilai kupon 10,50% justru berpotensi merugikan keuangan negara. Investasi itu tanpa due diligence dan hanya berpedoman pada mekanisme penempatan dana antar bank.
BPK RI NTT menyatakan bahwa “PT. Bank NTT baru menetapkan Pedoman pelaksanaan bidang treasury dengan SK Nomor 136 Tahun 2018 tanggal 12 Desember 2018 yang menyatakan batasan penempatan surat berharga pada pihak ketiga non-Bank di atas 25 miliar, yang memutuskan adalah Direktur Utama.”
Uji Tuntas Nasabah yang tidak sesuai menurut BPK sesuai pasal 1 POJK no 12/Pojk.01/2017, ada tahapan identifikasi, verifikasi, pemantauan dan ada uji tuntas lanjut yang lebih mendalam.
Uji tuntas kedua bertujuan pemantauan aspek risiko tinggi. (LHP BPK hal 35). Dari LHP BPK di atas “dapat dipahami atau diasumsikan” bahwa, SK Direktur Bank NTT Nomor 41 tahun 2011 dan sk nomor 43 tahun 2013 belum mengatur bidang treasury khusus berkaitan dengan transaksi MTN. Itu berarti lahirnya sk nomor 136 tahun 2018 tangal 12 desember 2018 bertujuan untuk mengubah dan menambah sk 41 tahun 2011 dan sk 43 tahun 2013. Namun, fakta waktu transaksi MTN Bank NTT telah terjadi atau disetujui oleh Divisi Treasury pada 6 Maret 2018 sepuluh bulan sebelumnya.
Dari interval waktu antara transaksi MTN yang disetujui Divisi Treasury Bank NTT pada 6 Maret 2018, secara normatif tidak legal MTN itu merujuk secara regresif ke SK Nomor 41 Tahun 2011 atau sk nomor 43 Tahun 2013 apalagi secara progresif ke sk nomor 136 Tahun 2018 karena akan melawan asas legalitas. BPK RI menyimpulkan MTN Bank NTT 2018 “tidak sesuai” dengan peraturan normatif yang berlaku dan material substansi. Frasa “tidak sesuai” LHP BPK RI bisa diartikan transaksi MTN 2018 itu tanpa rujukan peraturan-peraturan positif baik peraturan internal Bank NTT maupun peraturan eksternal seperti peraturan Bank Indonesia vide LHP BPK RI halaman 34. Maka transaksi MTN itu berpeluang sebagai transaksi per se (per se diartikan sebagai by himself, or herself: transaksi dilakukan oleh diri, pikiran sendiri) yang berpeluang terjadinya per se illegal transaction- transaksi yang sejak awal tidak legal atau salah karena tidak merujuk pada pedoman yuridis. Atau substansi materi MTN 2018 itu di-drive secara (bersifat) per se- oleh “diri sendiri” dengan “diri sendiri” lainnya yang berpeluang melawan hukum.
Transaksi per se di atas, jika dihubungkan dengan LHP BPK yang menyatakan “pembelian MTN SNP tidak masuk dalam rencana bisnis Bank (RBB) PT Bank NTT tahun 2017 dan 2018” lebih mudah diterima dengan pikiran sederhana dari sisi jarak antara ambruknya PT SNP.
Fakta lain terkait PT SNP ditunjukan oleh BPK RI bahwa, PT SNP telah mengalami kesulitan keuangan dan gagal bayar MTN pada tahun 2018 terindikasi gagal bayar dari MTN yang diterbitkannya. Jarak waktu antara transaksi MTN bank NTT Maret 2018 sangat dekat dengan waktu kesulitan gagal bayar PT SNP, oleh Pefindo dalam siaran persnya memberikan siaran pers bahwa penurunan credit profile/rating PT SNP. Oleh Pefindo juga melaporkan sejak 31 Desember 2017 PT SNP tidak memberikan informasi keuangan per 31 Maret 2018 dan pembayaran kupon namun PT. SNP tidak melaporkannya. Hingga akhirnya PT SNP jatuh pailit melalui Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat 4 Mei 2018. Otoritas Jasa Keuangan juga telah membekukan aktivitas bisnis PT SNP mulai 18 Mei 2018 yang pada intinya ada potensi merugikan kepentingan debitur, kreditur, dan pemangku kepentingan termasuk OJK merujuk pada pasal 53 POJK 29/2014.
Diketahui juga, ternyata Bank NTT melalui Divisi treasury telah mengajukan penghapusbukuan piutang MTN itu yang disetujui oleh Direksi Bank NTT per tanggal 31 Desember 2018. Inisitaif penghapusbukuan itu terkesan terburu-buru jika dilihat dari interval waktunya. Konsekuensi juridis dari penghapusbukuan MTN itu ialah hapusnya transaksi MTN 2018 atau dianggap tidak pernah (telah) ada dan tidak perlu ada karyawan bank NTT yang saling tuduh menuduh.
Menurut BPK RI upaya penghapusanbukuan MTN itu bertentangan dengan Peraturan BI Nomor 14/15/PBI/21012 pada intinya “Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai asset produktif dalam bentuk surat berharga” dan peraturan BI nomor 19/10/Pbi/2017. Faktum di atas menunjukan LHP BPK RI mau meluruskan informasi miring, baik di publik NTT maupun ke dalam bank NTT.
Risiko Bisnis Atau Kerugian Negara?
Konsep Risiko Bisnis merupakan satu sisi dari sisi mata uang lainnya yaitu prudential principle yang menjadi Roh dari entitas perbankan. Prudential dari kata dari kata (F) prudent-with knowledge: melalui ilmu pengetahuan. Makna ajektif-nya: careful: berhati-hati. UU Perbankan Nomor 10 Tahun 1998, menegaskan prudential principle lahir dari fiduciary relation- relasi kepercayaan. Prinsip kehati-hatian perbankan itu merupakan conditio sine qua non karena bank mengelola uang masyarakat. Prudential Principle sebagai controller pencegah munculnya risiko bisnis. Sesuai makna kata risiko sendiri, dari kata dasar (E) risk (n), (F) risquer (Italian) riscare, rischaire yang berarti run into danger- berlari masuk ke dalam bahaya; a source of danger- sejumlah sumber bahaya.”
Sisi risiko bisnisi akan muncul atau diciptakan dari kegagalan bekerjanya sisi prudential principle. Kegagalan prudential principle oleh kehendak karyawan bank. Risiko bisnis menjadi suatu kewajaran jika hal itu terjadi dari suatu kondisi overmacht (over: melewati batas; macht: kekuasaan, kekuatan fisik). Apakah ada overmacht- kekuasaaan dari luar bank (seperti perang) yang tidak bisa dikendalikan oleh karyawan bank NTT? Atau jangan sampai justru ada kekuatan tersembunyi dari dalam bank NTT yang tidak bisa dikendalikan?
Richard Apostolik, et.al (2009) dalam buku Foundations of Banking Risk, menjelaskan fungsi Prudent management is a function of the banks corporate governance and reflects the risk management culture promoted by the bank’s board of directors and operational structure of the bank. Manajemen kehati-hatian merupakan sebuah fungsi tata kelola perbankan baik dan refleksi budaya manajemen risiko dari pemimpin bank dan struktur pimpinan seperti Kepala Divisi treasury yang memegang detak jantung bank secara official. Prudent principle berperan sebagai stabilisator non performans loan, npl sebuah perbankan. Divisi treasury sangat tahu detak jantung bank, jika detak jantung bank terganggu oleh npl yang tidak normal maka, jantung sebuah bank berpotensi akan menerima alat pompa jantung dari bank lain.
Konsekuensinya seluruh sistem bank termasuk karyawan bank akan mengalami restrukturisasi dan paling penting ialah penguasaan saham yang menentukan posisi RUPS akan berubah total.
Konsep Kerugian Negara
Konsep kerugian negara berkaitan dan konsekuensi definisi keuangan negara dari teks pasal 1 undang-undang keuangan negara tahun 2003 yang menjelaskan “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.” Dipertegas pada pasal 2 huruf g, ada frasa “termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah”.
UU nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, juga menggunakan frasa seperti jala besar penangkap ikan. Pada pasal 2 ayat (1), ada frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, pasal 3 ayat (1), “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian neagara”.
Kedua frasa dari pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 ayat 1 tidak dijelaskan detail atau cukup pada bagian penjelasan uu tipikor tentang keuangan negara atau perekonomian negara terlebih jika perstiwa hukumnya melibatkan materi, subyek, hubungan hukum perdata (perikatan) seperti perseroan terbatas, perbankan yang modal dasarnya milik negara.
Ketiadaan penjelasan dari UU pemberantasan tindak pidana korupsi, tentu akan merujuk defenisi dari pasal 1 angka (1) uu keuangan negara yang notabene akan mengalami konversi makna ketika sudah melibatkan hukum perseroan terbatas, perbankan karena esensi perseroan terbatas, perbankan, substansi materi murni tentang ruang privat bukan ruang publik negara.
Tidak bisa dibantah, negara ikut berdagang, itu adalah keniscayaan sekaligus realitas negara telah mengakomodir dunia pasar yaitu dunia untung-rugi. Negara telah memilih perseroan terbatas sesuai pilihan dan perintah pasal 11 uu nomor 19 tahun 2003 tentang bumn dan uu perusahaan daerah tahun 1962. Entitas perseroan terbatas lahir itu dihidupkan oleh prinsip hidup yang liberalism bangsa barat, sehingga konsekuensi secara esensial bagi negara Indonesia ialah harus taat mengikuti ukuran-ukuran pasar. Sehingga negara tidak bisa menegasikan risiko bisnis.
Namun, ada catatan pentingnya. Konsep liberalisasi pasar muncul dari individualisme, liberalism bangsa barat yang mana paling sesuai jika berada di tempat lahirnya. Berbeda dengan Indonesia yang menganut paham kolektivisme atau komunal. UU BUMN juga telah dengan tegas mengakui liberalisasi pasar itu dalam kepemilikan saham. Negara memberikan peluang 49% dari saham perusahaan negara. 49% merupakan saham liberalism atau saham individualism (baca pasal 1 angka 2 uu nomor 19 tahun 2003 tentang bumn).
Konsep negara berdagang merupakan cara untuk menghidupkan kolektivisme yang membutuhkan biaya. Perseroan terbatas dipilih sebagai organisasi dagang dan bagian dari dunia dagang internasional. Sejak 1984, Indonesia sudah masuk dunia pasar global setelah meratifikasi GATT/WTO melalui uu nomor 7 Tahun 1984 yang memberi pesan bahwa, Indonesia telah mengawinkan sosialisme dengan liberalisme. Namun, kenyataan normatif uu keuangan negara dan uu pemberantasan tindak pidana korupsi, khusus yang berkaitan dengan entitas perseroan terbatas, perbankan sebagai dasar filosofis banyak diabaikan. Lalu bagaimana ratio legis- penjelasan hukum konsep kerugian negara dalam kasus MTN dari LHP BPKRI NTT?
Untuk membahas kerugian negara atau risiko bisnis, tulisan ini menginferensi penjelasan hukum oleh Roscou Pound, Hans Kelsen dan legal positifisme John Austin. Pertama, Roscou Pound (1930) dalam karyanya berjudul An Introduction To The Philosophy of Law, menjelaskan fungsi hukum sebagai alat kontrol sosial dan perekayasa sosial. Penjelasan Pound dapat menjadi dasar asumsi merekayasa konsep risiko bisnis dari dunia liberal ke kerugian negara sosialisme Indonesia. Dunia pasar (perseroan terbatas) dipakai sebagai jembatan mewujudkan sosialisme Indonesia sehingga sosialisme itu dipertaruhkan ke dalam ruang untung dan rugi pasar.
Kedua, Hans Kelsen (1949), dalam bukunya The General Theory of Law and State, menjelaskan “law as an order of human behaviour”, hukum adalah pengaturan perilaku manusia. Meminjam penjelasan Aristoteles (1818), manusia adalah manusia sebagai mamalia rasional- a rational mortal animal, ada aspek kebinatangan manusia yang terlibat langsung dalam kehidupan bisnis, sebagai potensi mamalia yang dapat mengorbankan sosialisme atau kolektifisme menjadi penjelasan filosofis MTN Bank NTT dapat disebut kerugian negara untuk melindungi kelangsungan hidup masyarakat.
Walaupun konsep kerugian negara menerobos secara paksa ke dalam substansi uu perseoran terbatas yang murni entitas pasar, sebagai anak kandung liberalisme pasar menjadikan risiko bisnis sebagai conditio sine qua non- juga akan tetapi, rekayasa konsep kerugian negara didasari dan bertujuan untuk kolektifisme. Nulla regula sine exceptione- tidak ada hukum tanpa pengecualian, adagium tiada hukum tanpa pengecualian. Dalam konteks MTN Bank NTT, uang yang hilang adalah hak masyarakat secara langsung sehingga, mewajibkan negara untuk bertindak berdasarkan konstitusi. Negara melalui kedaulatannya mengafirmasi konsep kerugian negara dalam ruang pasar tujuannya menjaga kolektifisme. Sehingga dapatlah disebutkan bahwa kehilangan uang dalam transaksi MTN bank NTT tahun 2018 merupakan kerugian negara.
Pertanyaan lanjutan substansi materi lanjutannya berkaitan dengan potensi kerugian negara dalam transaksi MTN bank NTT ialah: uang negara yang manakah yang dimaksudkan BPK RI dalam bank NTT? Bank NTT sebagai organisasi perdata atau privat (baca dan perhatikan pasal 1 angka 1 uu perseroan terbatas yang pada intinya menjelaskan perseroan terbatas merupakan consensus perdata). Hubungan hukum negara (BPK RI, Pemerintah Daerah sebagai pemilik modal) dengan perseroan terbatas secara normatif bersifat hubungan koordinatif bukan hubungan subordinatif sesuai esensi perseroan terbatas baik secara historis maupun secara normatif.
PT bukanlah bagian dari organisasi negara. Tetapi, negara memilih PT sebagai organisasi dagang negara, terikat dalam hubungan hukum di anggaran dasar dan anggaran rumah tangga perusahaan. Entitas PT merupakan “persekutuan modal” berdasarkan consensus yang rujukan hukumnya adalah KUHPerdata vide pasal 1320, 1338 KUHPerdata, uu perseroan terbatas. Negara berdagang berarti negara masuk ke dalam dunia pasar, membuat persekutuan privat “in privatium privatus” dengan konsekuensi negara harulah “mengganti jubahnya” menjadi jubah privat.
Pasal 70 uu perseroan terbatas tahun 2007, menjelaskan “penyisihan laba bersih…dilakukan mencapai paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari modal yang ditempatkan”, dilanjutkan pada pasal 71 “seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan….. dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen, kecuali ditentukan lain dalam RUPS.” Teks pasal 70 dan 71 uu perseroan terbatas itu tegas menjelaskan yang menjadi uang negara ialah laba atau dividen dan modal awal atau modal yang ditambahkan setiap tahunnya.
Perseroan Terbatas merupakan standi persona in judicio- subyek hukum hukum (yang independen). Jika menggunakan teori standi persona in judicio maka uang negara yang dimasukan ke dalam bank NTT ialah sejumlah modal dasar dan laba atau dividen yang diperoleh setiap tahunnya yang terlebih dahulu dibagi dan dipisahkan ke dalam saham-saham atau sero-sero atau hak-hak atau kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Anggaran dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perusahaan. Konsep standi persona in judicio itu maksudnya adalah hak dan tanggung jawab masing-masing pemilik modal terbatas bukan semua, pars est totum- satu dari seluruh saham bukan pars pro totum- satu (saham) untuk seluruh saham.
Berdasarkan penjelasan posisi perseroan terbatas sebagai standi persona in judicio maka uang negara yang dimaksudkan uu keuangan negara yang dijaga oleh uu pemberantasan korupsi 1999 berkaitan dengan sejumlah uang negara, uang pemerintah daerah yang dijadikan sebagai modal dasar, modal yang disetor, modal yang ditambahkan, laba, dividen atau potensi laba atau potensi dividen sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
Esensi perseroan terbatas sebagai standi persona in judicio, khususnya berkaitan dengan uang negara berarti tanggungjawab terbatas, pars est totum terhadap uang negara sebagai modal dasar seperti modal pemerintah daerah di bank NTT. Prof. Dr, Rudy Prasetya (1996:2) dalam bukunya berjudul Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, menjelaskan ciri perseroan terbatas terletak pada “kemandiriannya dan sebagai konsekuensinya mengenai pertanggungjawabannya yang terbatas.”
Jika esensi entitas perseroan perdata yang menjadi patokan maka kemungkinannya hilangnya uang di transaksi MTN Bank NTT masuk dalam batasan tindak pidana biasa namun, kalau menyingkirkan esensialitas perseroan terbatas dan menggunakan konsep kolektifisme kerugian negara vide uu keuangan negara, uu pemberantasan tindak pidana korupsi maka hilangnya uang dalam transaksi MTN kemungkinannya dikatergorikan kerugian negara. Tentang situasi di atas John Austin ikut bertanggung jawab secara moral sebagai pencetus paradigma hukum positif. John Austin (1832) dalam bukunya The Province of Jurisprudence.
Determined, menjelaskan persoalan jurisprudence-ilmu hukum ialah ketika hukum menjadi hukum positif, (peraturan) positif seperti uu keuangan negara, uu pemberantasan tindak pidana korupsi. Misalnya khususnya tentang frasa keuangan negara dan perekonomian negara. Tidak ada pemisahan mana keuangan negara mana uang perusahaan. Hal ini kemungkinan terjadi dari kapasitas legislator, penguasaan ilmu hukum, interpretasi ilmu hukum. Sudikno Mertokusumo menyampaikan legal positivism (ex. uu pemberantasan tindak pidana korupsi) ialah perwujudan material/ fisikal dari ilmu hukum yang abstrak. Hukum positif bukan totalitas dari hukum yang tidak kelihatan bahkan tidak akan pernah bisa. Pikiran manusia adalah causanya.
Pendapat yang mirip pernah disampaikan oleh Richard Posner (2012) dalam bukunya berjudul Economic Analysis of Law. Pada halaman 34-35, Posner menjelaskan “the regulatory powers of the state-kekuasaan membentuk undang-undang (peraturan positif)” diilustrasikan berikut, jika penangkapan binatang liar menggangu penurunan populasi bahkan mengancam kepunahan maka, negara bisa membatasi hak privat/ individu untuk berburu di alam liar tetapi tetap memberikan keluasan untuk berburu hanya di dalam property privat atau individu.
Posner juga menjelaskan hak privat atau publik berkaitan penguasaan atas air. “Water”- air jika berada di property privat dimiliki pribadi sekalipun menguasai hayat hidup kolektif, sebaliknya Indonesia memandang berbeda penguasaan atas air yang menguasai hayat hidup kolektif dikuasasi oleh negara.
Selanjutnya menentukan risiko bisnis atau kerugian negara, akan diserahkan kepada hakim untuk menemukan hukum sebagai hukum atau mendekonstruksi teks pasal peraturan “hukum positif” negara yang “mati atau kaku” menjadi hukum. Semoga. (*)
* Penulis: Petornius Damat, SH, LL.M – Dosen Ilmu Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang