Eksekutif dan legislasi merupakan mitra dalam membangun daerah dan mensejahtrakan masyarakat. Karena itu antara keduanya harus saling menjunjung tinggi nilai-nilai etika peradaban dan saling menghargai satu sama lain (sabete saladi – hakneter haktaek) untuk terciptanya hamonisasi dalam mengemban tugas masing-masing.
Di Kabupaten Malaka, selama beberapa hari terakhir berkembang polemik terkait pengangkatan dan pemberhentian Sekwan oleh Bupati Malaka pada Jumat, 14 Januari 2022. Bahwa terhadap hal ini ada pernyataan tegas dari Ketua dan Wakil Ketua I DRPD bahwa pengangkatan dan pemberhentian Sekwan tanpa konsultasi dan persetujuan dari pimpinan dewan sehingga cacat hukum.
Agar menjadi terang, baiklah kita mencermati dan menyimak yang apa yang menjadi dasar pengangkatan seseorang untuk jabatan sekwan. Pertama, merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa pada Pasal 205 ayat 2 undang-undang tersebut diatur: “Sekretaris DPRD kabupaten/ kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 2014 ayat 1 dipimpin oleh seorang sekretaris DPRD kabupaten/ kota yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan bupati/ walikota atas persetujuan pimpinan DPRD kabupaten/kota.
Kedua, merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3. Pada Pasal 420 ayat 2 diatur bahwa “Sekretariat DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris DPRD kabupaten/kota yang diangkat dan diberhentikan dengan keputusan bupati/walikota atas persetujuan pimpinan DPRD kabupaten/kota.
Ketiga, merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 TENTANG PERANGKAT DAERAH. Pada Pasal 31 ayat 3 diatur: “Sekretaris DPRD kabupaten/ kota sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diangkat dan diberhentikan dengan keputusan bupati/walikota atas persetujuan pimpinan DPRD kabupaten/ kota setelah berkonsultasi dengsn pimpinan fraksi.
Sementara, di lain sisi ada yang berpendapat bahwa pengangkatan sekwan oleh bupati malaka telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Juga dipandang sesuai dengan PP Nomor 17 Tahun 2020 Tenang Manejemen Pegawai Negeri Sipil.
Pada Pasal 127 ayat (4) Khusus untuk pejabat tinggi pratama yang memimpin sekretariat DPRD, sebelum ditetapkan oleh PPK dikonsultasikan dengan pimpinan DPRD. Siapa itu PPK? Pasal 1 ayat 17 berbunyi Pejabat Pembina Kepegawaian yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan pembinaan manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari regulasi diatas telah secara jelas saling menguatkan mengatur tentang
prosedur dan tata cara pengangkatan seorang sekwan oleh bupati. Sehingga tinggal dijalankan sesuai dengan tahapannya.
Pertama, sesuai Pasal 127 ayat (4) PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Managemen Pegawai Negeri Sipil mengatur bahwa sebelum ditetapkan oleh PPK dikonsultasikan dengan pimpinan dewan. Artinya, penekanan pada konsultasi terlebih dahulu oleh PPK dengan pimpinan dewan sebelum menetapkan sekwan. Bahwa konsultasi dimaksud adalah konsultasi yang dilakukan secara formal antara PPK dengan pimpinan dewan. Dan sudah pasti bahwa pimpinan dewan berarti
terdiri dari ketua dan para wakil ketua.
Bahwa jika konsultasi yang dilakukan oleh PPK, hanya dengan salah satu pimpinan dewan maka hal itu tidak sah atau cacat formal. Karena regulasinya mensyaratkan secara tegas bahwa konsultasi dengan pimpinan dewan. Tujuannya tentu untuk menghindari adanya praktek kesewenang-wenangan dan penyalagunaan kewenangan dari para pimpinan itu sendiri.
Sedangkan pada Pasal 205 Ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 31 Ayat (3) UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3, Jo PP Nomor 18 /2016 tentang Perangkat Daerah intinya dikatakan
Sekwan Diangkat Dan Diberhetikan Dengan Keputusan Bupati Atas Persetujuan Pimpinan DPRD. Bahwa hal inipun sudah sangat jelas bahwa sekwan diangkat dengan keputusan bupati atas persetujuan pimpinan dewan.
Dari semua regulasi diatas yang digunakan sebagai rujukan untuk pengangkatan sekwan tersebut tidak ada yang tidak sah. Karena regulasi-regulasi diatas saling mendukung satu sama lain dalam tahapan prosedur pengangkatan seorang sekwan oleh bupati. Bahwa hal itu menunjukan tidak ada kekosongan hukum dan tidak ada kontradiktif antara PP Nomor 18 dengan terakhir PP Nomor 11, sehingga kurang tepat jika harus mengunakan hak diskresi bupati untuk mengatasi gejolak terkait dengan pengangkatan seorang sekwan di Malaka.
Bahwa jika dasar pertimbangannya bupati mengunakan diskresi maka hal itu hanya untuk menunjukan bupati arogan dan telah menyalagunakan kewenangan dengan melanggar aturan yang berlaku. Bahwa PPK dengan kewenangannya mempunyai kewajiban untuk terlebih dahulu mengkonsultasi hal ini dengan pimpinan dewan untuk mendapatkan masukan, catatan, saran, pendapat dan dukungan dari pimpinan dewan DPRD dalam bentuk tertulis, yang kemudian disampaikan kepada bupati sebagai bentuk persetujuan pimpinan DPRD Malaka atas pengangkatan seorang sekwan.
Fokus kita, apakah pemberhentian dan pengangkatan sekwan telah dikonsultasikan oleh PPK dengan pimpinan dewan? Jika benar PPK telah melaksanakan tugasnya secara konstitusional dengan mengkonsultasikan dengan pimpinan dewan, maka tidak akan ada pro dan kontra terkait dengan pengangkatan
Sekwan di Kabupaten Malaka. Konsultasi dimaksud adalah secara formal dan syah dengan pimpinan dewan, yakni ketua, wakil ketua I dan wakil ketua II. Konsultasi tersebut harus secara formal dan sah sesuai tata tertib yang berlaku.
Jika konsultasi PPK dan persetujuan hanya datang dari salah satu pimpinan DPRD malaka maka hal itu premature dan non prosudur serta cacat hukum. Bahwa konsultasi PPK dengan pimpinan dewan tentunya harus dibuktikan dengan berita acara atau surat sejenisnya, yang dibuat untuk itu sebagai bagian dari pertanggungjawaban tertib administrasi.
Jika keputusan bupati terkait pengangkatan sekwan sudah atas persetujuan pimpinan dewan maka hal itu harus disampaikan secara jujur dan terbuka sehingga tidak menimbulkan kegaduhan dimasyarakat, seolah-oleh bupati tidak paham hukum dan hanya mementingkan kepentingan orang atau kelompoknya.
Persetujuan pimpinan dewan dimaksud adalah persetujuan dari 3 orang pimpinan dewan. Atau sitidak-tidaknya suara mayoritas sebagai konsekuensi dari pimpinan DPRD yang bersifat kolektif koligial yang berlaku dan mengikat bagi para pimpinan dewan. Sehingga bila tanpa konsultasi dan tanpa persetujuan dari pimpinan dewan yang tertuang dalam berita acara maka hal tersebut menimbulkan dampak hukum bagi keputusan tersebut menjadi non prosedural atau cacat atau tidak sah. Karena dengan demikian maka PPK dan bupati telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sewenang-wenang serta menyalagunakan kewenangan yang mengakibatkan adanya kerugian bagi orang lain dan kerugian bagi Negara. Dan ini merupakan perbuatan melawan hukum bagi pihak lain. Dan pantas jika yang merasa dirugikan dengan keputusan ini dapat melakukan perlawanan dengan cara menguji keputusan tersebut di pengadilan tata usaha negara untuk mendapatkan kepastian dan kemanfaatan hukum.*
* Penulis adalah Paulus Seran Tahu, SH, MHum — Praktisi Hukum asal Malaka, berdomisili di Kupang.