Kalabahi, Sakunar — Kantor Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan (KCDKP) Wilayah Kabupaten Alor, selaku Satuan Unit Organisasi Pengelola (SUOP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Selat Pantar dan Laut Sekitarnya bekerja sama dengan Yayasan WWF Indonesia menggelar Pelatihan Teknik Penanganan Mamalia Laut Terdampar pada 16-17 November 2021.
Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas peserta sebagai First Responder. Selain itu, kebutuhan sumber daya manusia yang kompeten dalam teknik penanganan, pelepasliaran, hingga aspek medis dalam kejadian mamalia laut terdampar menjadi beberapa alasan yang melatarbelakangi kegiatan pelatihan jejaring para penanggap pertama atau First Responder.
Pelatihan ini menjadi penutup dari rangkaian pelatihan yang dilakukan oleh Yayasan WWF Indonesia. Dua kegiatan sejenis telah dilaksanakan di Surabaya bersama Universitas Airlangga dan di Banda Aceh bersama Universitas Syiah Kuala.
Dalam lima tahun terakhir, yakni tahun 2017 hingga September 2021, tercatat 29 kali kasus kejadian mamalia laut terdampar di perairan NTT baik dalam jumlah tunggal maupun massal,
hidup atau mati. Tiga kasus terdampar diantaranya terjadi di perairan Alor, tepatnya seekor paus sperma di Pantai Deere tahun 2018. Kemudian dua ekor lumba-lumba di Desa Fenating tahun
2019, dan di Kolana Utara tahun 2020.
“Ini bukanlah jumlah yang sedikit untuk kasus dalam sebuah kawasan kepulauan. Untuk itu, diperlukan perhatian serius terutama menyiapkan sumber daya manusia yang terlatih dalam penanganan mamalia laut terdampar. Sejak tahun 2013 hingga sekarang ini, setidaknya terdapat 1.200 orang di berbagai wilayah Indonesia yang telah berkompeten sebagai tenaga First Responder,” jelas drh. Dwi Suprapti, M.Si selaku salah satu penyuluh dalam kegiatan ini.
Menurutnya, pelatihan ini penting dilakukan bagi tenaga First Responder karena penanganan yang tidak tepat dapat membahayakan satwa, maupun diri mereka sendiri.
Sementara itu, Kepala KCDKP Provinsi NTT Wilayah Kabupaten Alor, Muhammad Saleh Goro, S.Pi, M.Pi berharap dengan pelatihan ini dapat meningkatkan survival rate atau harapan hidup bagi mamalia laut yang terdampar.
“Harapannya jika ditemukan kasus terdampar, First Responder dapat ke lokasi secepat mungkin untuk melakukan penilaian kondisi dan melakukan koordinasi dengan jejaring penanganan kejadian mamalia laut terdampar untuk mengurangi risiko kematian”, ujarnya.
“Saat ini sedang dilakukan review dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi (RPZ). Melihat potensi yang ada, cetacea atau mamalia laut akan diusulkan sebagai salah satu target konservasi yang akan dikelola di dalam kawasan”, tutupnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Balai Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar, Permana Yudiarso, yang juga menyambut baik program pelatihan ini. Sebagai salah satu daerah dengan intensitas kejadian mamalia laut terdampar yang cukup tinggi, NTT yang masuk dalam wewenangnya, menjadi lokasi yang tepat untuk memiliki SDM yang terlatih dalam penangangan mamalia terdampar. Baik dari aspek kesehatan hewan, pengetahuan dasar seperti penanganan, serta langkah-langkah yang perlu diambil jika masih ada peluang hidup, maupun ketika ditemukan sudah mati terdampar, seperti identifikasi spesies, identifikasi morfologi dan anatomi.
Menurut Yudi, tidak semua orang paham apa yang harus dilakukan di lokasi saat ada kejadian terdampar. Kesalahan penanganan justru akan mengakibatkan kematian atau bahkan penularan penyakit mamalia laut tersebut kepada masyarakat di sekitarnya.
“Fenomena mamalia laut terdampar erat hubungannya dengan kondisi kesehatan laut Indonesia. Dengan mengetahui penyebab kejadian terdampar, diharapkan kita dapat semakin bisa merumuskan berbagai cara pencegahan dan penanggulangannya,” tambahnya.
Adapun materi pelatihan pada hari pertama, berfokus pada pengenalan kejadian mamalia laut terdampar, teknik penanganan, identifikasi jenis mamalia laut, regulasi konservasi mamalia
laut, hingga pemaparan aspek medis dan rekomendasi pemusnahan serta diakhiri dengan materi teknik penanganan kasus terjaring tidak sengaja atau bycatch.
Sedangkan pada hari kedua, pelatihan fokus pada praktik pengumpulan data dan pengambilan dokumentasi, morfometri hingga simulasi dari kejadian terdampar (kondisi mati, hidup, terperangkap jaring). Kegiatan diakhiri dengan diskusi pembentukan jejaring First Responder Alor.
Pelatihan dihadiri oleh berbagai pihak antara lain; Kepala Kepolisian Resor Alor, Komandan Komando Distrik Militer (Kodim) 1622 Alor, Rektor Universitas Tribuana Kalabahi, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan (Bappelitbang) Kabupaten Alor, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Kepala Dinas
Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Kepala Dinas Pariwisata, Kepala Dinas Peternakan, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Kepala BPBD, Komandan Pos Lanal Pulau Alor, Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Ketua Forum Komunikasi Nelayan Kabola
(FKNK), Ketua Plastic Free Ocean Network (PFON), Ketua Aliansi Bahari Alor, Yayasan WWF Indonesia wilayah Lesser Sunda Sub-Seascape, Ketua Yayasan Teman Laut Indonesia (Tresher Shark Indonesia) dan Ketua Yayasan Taka.
Bersamaan dengan kegiatan pelatihan, KKD SAP Selat Pantar dan Laut Sekitarnya meluncurkan laman resmi sebagai media untuk menyatukan dan mempromosikan kegiatan, tata cara perizinan, serta regulasi dan hal lainnya yang berhubungan dengan Kawasan
Konservasi Daerah tersebut.*(Neban)