Malaka, NTT — Sebuah fakta yang dinilai janggal terungkap dalam persidangan sengketa Pilkada Malaka Tahun 2020 di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Fakta yang dinilai janggal tersebut adalah pembelaan Pihak Terkait atas dalil money politic yang didalilkan pemohon.
Tindakan money politic tersebut, kata Kuasa Hukum Pemohon dalam dalilnya, dilakukan oleh Paslon Nomor Urut 1 sebagai Pihak Terkait dalam kampanye, yang kemudian divideokan dan diunggah salah satu chanel Youtube.
Dalam video tersebut, Calon Bupati Nomor Urut 1 mengatakan bahwa dirinya sudah bersepakat dengan calon wakil bupati dan para anggota DPR supaya bila terpilih akan memberikan gaji kepada Loro, Nai dan Fukun setiap bulan.
Sementara, dalam eksepsi dan pembelaannya, Kuasa Hukum Pihak Terkait mengatakan bahwa janji untuk memberikan gaji kepada Loro, Nai dan Fukun tersebut didasarkan pada Peraturan Bupati yang dibuat oleh Calon Bupati Petahana tentang Besaran Tunjangan Kepala Desa, Perangkat Desa, Badan Permusyawaratan Desa, Kader Desa dan Lembaga Adat Desa.
Ketua Tim Kuasa Hukum Pemohon, Yafet Yosafet Rissy ketika dikonfirmasi media ini, Minggu (14/03/2021) menilai pembelaan tersebut janggal dan sangat ironis. Pasalnya, para calon petahana atau incumbant dilarang untuk memanfaatkan program pemerintah yang sedang dikelolahnya dalam kampanye, dengan tujuan untuk mempengaruhi pemilih. Apakah larangan yang demikian hanya berlaku untuk calon petahana, sehingga calon lain bebas melakukan itu?
Di satu sisi, Yafet menilai, Lembaga Adat Desa yang dimaksudkan dalam Perbup dimaksud berbeda dengan Loro, Nai dan Fukun. Karena Lembaga Adat Desa terdiri dari beberapa orang yang ditunjuk dan diangkat dengan Surat Keputusan (SK) Pemerintah. Lembaga adat ini ada batasan waktu menjabat. Sedangkan Loro, Nai dan Fukun adalah ‘Person’ yang tidak diangkat berdasarkan SK Pemerintah tetapi terpilih melalui ritual adat untuk seumur hidupnya.
“Jelasnya Loro, Nai dan Fukun itu sangat berbeda dengan lembaga adat yang dimaksud pemerintah dalam Perbup. Di lain sisi, program pemerintah dilarang untuk dimanfaatkan dalam kampanye, oleh Petahana sekalipun. Jadi, kalau Perbup itu dijadikan alasan untuk pembenaran itu sangat ironis”, ungkap Yafet.
Hal senada diungkapkan Mantan Ketua Bawaslu RI, Bambang Eka Cahya Widodo. Dikutip dari TribunNews.com, Minggu (14/3/2021), Bambang mengungkapkan, MK patut mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan para pengugat terkait pelanggaran TSM yang mengakibatkan pemilu menjadi tidak jujur dan adil.
“Terutama dalam penyalahgunaan kewenangan, program dan kegiatan pemerintah daerah yang dikelola oleh petahana,” ujar Bambang.
Bambang juga berpandangan, penegakkan hukum oleh Bawaslu dan aparat hukum termasuk Gakkumdu yang sangat tidak efektif. Sehingga untuk menghasilkan pemilu yang jujur dan adil harus ada sanksi tegas terhadap semua bentuk penyalahgunaan kewenangan publik dan anggaran publik.
“MK bisa mendiskualifikasi dan pernah melakukan itu dalam kasus Pilkada kota Waringin Barat. Tapi paling sering MK memerintahkan pemungutan suara ulang,” tutur Bambang.
Menurutnya diskualifikasi bisa dilakukan sepanjang alat bukti yang ada relevan dengan dalil yang diajukan tentu akan sangat mempengaruhi keputusan hakim.*(Tim/ buser)