Kejar Volume, Abaikan Kebutuhan Penerima – Sisi Lain Dugaan Korupsi Proyek Rumah Bantuan Seroja Di Malaka

oleh -1,228 views

Malaka, Sakunar — Realisasi pekerjaan rehab rumah bantuan bencana seroja di Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur patut diduga tidak menjawab kebutuhan rakyat korban bencana seroja. Pelaksanaan pekerjaan di lapangan diduga hanya mengejar volume kerja untuk memenuhi syarat hitung-hitungan diatas kertas (administrasi).

Akibatnya, anggaran yang dikucurkan pemerintah pusat senilai 57,5 Miliar Rupiah tidak menjawab kebutuhan 3.118 rakyat korban bencana seroja yang menerima bantuan rehab rumah tersebut.

Logika sederhana, pemerintah pusat menggelontorkan anggaran sebesar itu untuk membantu rakyat yang huniannya (rumah tinggalnya) rusak akibat bencana seroja yang terjadi pada awal April 2021.

Bantuan tersebut diberi tema rehab, dengan tiga kategori sesuai tingkat kerusakan. Rehab ringan untuk tingkat kerusakan ringan, rehab sedang untuk tingkat kerusakan sedang dan rehab berat untuk tingkat kerusakan berat atau kehilangan hunian.

Mantan Kalak BPBD, Gabriel Seran, dalam sebuah video yang diunggah ke akun youtube Bidik Tv sekitar akhir Agustus hingga awal September 2022 meminta para kontraktor untuk mengerjakan item pekerjaan yang harga satuannya besar. Misalnya, kata Gabriel, lebih baik kerja plester ketimbang pasang keramik karena harga satuan plester lebih besar ketimbang keramik.

Penelusuran Tim Wartawan di lapangan, mulai Tanggal 27 Juli 2023 sampai dengan 16 Agustus 2023, ditemukan sejumlah hal yang diduga merupakan persoalan serius terkait pelaksanaan proyek ini.

Pada kategori rehab ringan dan rehab sedang, misalnya, terdapat sejumlah persoalan, seperti dugaan kekurangan volume kerja, dugaan manipulasi item pekerjaan, dan lain sebagainya.

Salah satu catatan tim wartawan, sesuai fakta yang ditemukan di lapangan adalah kontraktor mengejar volume kerja tanpa memperdulikan kebutuhan rakyat penerima manfaat. Dengan kata lain, realisasi pekerjaan di lapangan lebih mengedepankan hitung-hitungan diatas kertas (administrasi) dan mengabaikan apa yang menjadi kebutuhan rakyat sesuai tema bantuan pemerintah dimaksud.

Penerima manfaat atas nama Paulus Teti di Dusun Halibasar A, Desa Halibasar, Kecamatan Wewiku bisa dijadikan salah satu contoh untuk persoalan ini.

Didatangi tim wartawan pada Kamis (10/08/2023), kondisi rumah tinggal milik Paulus Teti memang memprihatinkan. Paulus dan keluarga menempati sebuah rumah panggung yang kondisinya sudah tidak layak huni. Ada rumah lain berdinding bebak, berlantai tanah dan beratap daun, tetapi juga sudah tidak layak huni lantaran tertutup sisa material banjir.

Sementara, disamping rumah yang sudah tidak layak huni tersebut berdiri sebuah bangunan permanen, berukuran kecil, yang diberi cat hijau mudah dan orange.

Bangunan permanen tersebut ternyata adalah sebuah toilet permanen, yang dikerjakan kontraktor pelaksana dengan anggaran yang seharusnya untuk rehab rumah tinggal milik Paulus, yang didata Pemda Malaka sebagai salah satu rumah yang rusak akibat bencana seroja dengan tingkat kerusakan ringan.

Paulus butuh rumah tinggal, tetapi dikasih toilet. Pastinya, Pemda Malaka ajukan permohonan ke pemerintah pusat minta anggaran untuk rehab rumah milik Paulus tetapi setekah dapat uang itu dipakai untuk bangun toilet. Pemerintah beri bantuan untuk rehab rumah tinggal, malah digunakan untuk bangun toilet.

“Kami sangat butuh rumah, tapi mereka (kontraktor, red) bilang anggaran tidak cukup. Kami bilang biar kami tambah bahan tidak apa-apa, yang penting dapat rumah karena rumah sudah rusak. Tapi mereka tetap tidak mau, sehingga kasi kami WC (Toilet, red) itu. Kami orang bodok ini bisa apa? Ya, kami terimakasih saja,” ujar Paulus. Tercium aroma kegetiran dalam setiap kata yang terlintar dari bibirnya. Menusuk dan menyayat nurani.

Teodora Hoar di Dusun Loomota Lalawar, Desa Umatoos juga punya kisah yang nyaris sama. Rumah tinggal rusak berat (pantauan kasat mata) hingga nyaris tak bisa lagi dihuni. Tetapi anggaran yang dikucurkan untuk rehab ringan (sesuai data Pemda Malaka) digunakan untuk perlebar bangunan kios.

“Waktu itu kami minta supaya anggaran yang ada biar pakai bangun fondasi saja baru kami lanjut sisanya. Tapi kontraktor bilang tidak bisa. Kontraktor pun tawar untuk perlebar kios, maka kami ikut saja, daripada uang kembali,” ujar Ulu, anak kandung Teodora kepada Wartawan di Loomota, Jumat (11/08/2023).

Paulus dan Teodora, adalah dua dari sekian banyak fakta yang ditemukan tim wartawan di lapangan.

Kami lalu teringat akan pernyataan mantan Kalak BPBD sekaligus PPK, Gabriel Seran beberapa waktu lalu, ketika ditanya alasan yang mendasari pengalihan metode swakelola ke kontraktual untuk kategori rehab ringan dan kategori regab sedang.

Kala itu, dengan yakin Gabriel mengatakan, alasan pengalihan tersebut, salah satunya untuk meminimalisir penyalahgunaan uang. Jangan sampai uang atau bantuan tidak digunakan untuk kerja rumah tetapi untuk kerja lain atau untuk hal lain. Kira-kira begitulah jawaban Gabriel Seran kala itu. Dan jawaban ini rupanya cukup logis dan sapat dimengerti. Ada maksud mulia dibalik kata-kata Gabriel tersebut.

Tersirat dalam pernyataan Mantan Kalak BPBD diatas, suatu kecemasan bahkan ketakutan bahwa jika rakyat dibiarkan mengelola secara swakelola maka akan terjadi bahwa rakyat menyalahgunakan uang bantuan rehab rumah tersebut.

Namun, bagaimana jika pernyataan itu disandingkan dengan fakta yang dialami Paulus dan Teodora, sebagaimana diungkapkan diatas? Bagaimana pula bila disandingkan dengan fakta lain, misalnya, ketika kontraktor dan tuan rumah sepakat supaya bantuan diuangkan saja lantaran rumah dalam keadaan baik sehingga tidak perlu kerja apa-apa?

Apakah terlalu berlebihan jika kami menduga bahwa pengalihan metode swakelola ke kontraktual hanyalah upaya untuk memperkaya pihak tertentu?

Atau secara sederhana, patut diduga bahwa pengalihan metode dari swakelola ke kontraktual dilakukan hanya karena pemerintah daerah tidak rela rakyat menikmati bantuan pemerintah pusat, sehingga ingin ikut menikmati. Sebab, faktanya, dilakukan secara kontraktual pun tetap terjadi penyalahgunaan anggaran.

Lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas penyalahgunaan uang bantuan untuk rakyat korban bencana ini?

Hemat kami, pihak pertama yang harus bertanggung jawab adalah yang menentukan pengalihan metode swakelola ke kontraktual. Pengalihan metode tersebut ditentukan dengan Juknis. Pejabat yang membuat dan menandatangani juknis (entah Bupati, entah Kalak BPBD) patut bertanggung jawab dalam hal ini.

Kontraktor Pelaksana, PPK, Kontraktor perencana, dan konsultan pengawas, patut diduga ikut dengan sengaja menyalahgunakan uang bantuan untuk korban bencana ini.

Tim Monitoring, baik dari institusi pendidikan maupun Pemda Malaka pun patut diduga bersalah karena membiarkan penyalahgunaan uang bantuan tersebut terjadi.

Tentu saja untuk memvonis seseorang bersalah atau tidak adalah wewenang aparat penegak hukum (APH). Karena itu, rakyat meminta APH untuk merespon keluhannya. Permintaan tersebut sudah disampaikan secara terbuka melalui wakil-wakil rakyat di DPRD. Wakil Ketua (Waket) 2 DPRD, Hendrikus Faik Taek, SH, sebagai wakil rakyat sudah menyampaikan itu melalui media ini.

“Yang berwenang mengusut ini kan APH, maka kita minta teman-teman APH untuk segera mengambil sikap,” tandas Hendrikus, Minggu (18/08/2023).*(JoGer/Tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.