Seiring perkembangan zaman dan proses modernisasi, terjadi berbagai perubahan perilaku, sikap dan gaya hidup seseorang. Perubahan gaya hidup dan perilaku tersebut dapat berdampak buruk pada kesehatan tubuh yang dapat menjadi rentan untuk terkena penyakit. Salah satu penyakit yang dapat diakibatkan oleh perubahan gaya hidup yaitu Silent Reflux atau Refluks Laringofaring atau istilah medisnya dikenal sebagai Laringopharingeal Reflux (LPR).
Refluks laringofaring sendiri merupakan salah satu penyakit yang sering ditangani oleh dokter THT, dimana terjadi aliran balik dari isi lambung ke laring dan faring kemudian cairan ini bersentuhan dengan saluran pencernaan bagian atas dan saluran pernafasan. Penderita refluks laringofaring (LPR), memiliki perbedaan gejala dan keluhan dari penderita Gastroesophageal Reflux Disease atau yang biasa kita ketahui dengan istilah GERD. [1]
Pada LPR terjadi kerusakan mukosa laringofaring akibat iritasi asam lambung yang naik. Saat asam lambung naik maka akan mengiritasi jaringan disekitarnya, sehingga merusak barier atau pelindung pada mukosa laringofaring terhadap asam lambung.
Penyebab LPR
- Kehamilan
- Kelebihan berat badan atau obesita
- Gangguan fungsi katup esofagus
- Merokok
- Kebiasaan makan yang tidak sehat, seperti berminyak, pedas, asam dan berlemak
- Kebiasaan mengonsumsi Alkohol, kopi dan soda
- Kebiasaan berbaring setelah makan
- Rutin memakai pakaian teralu ketat
Gejala LPR
- Suara Serak
- Sering mendehem
- Banyak lendir di tenggorok (Post Nasal Drip)
- Kesuliatan Menelan
- Batuk-batuk setelah makan atau berbaring
- Kadang-kadang terasa susah bernafas
- Sering tersedak
- Rasa mengganjal di leher
- Rasa pahit di bagian belakang tenggorokan dan keinginan untuk terus membersihkan tenggorok
- Nyeri dada atau dada seperti terbakar dan rasa asam yang naik ke tenggorok
- Beberapa pasien, terutama mereka yang menggunakan suaranya secara profesional, seperti penyanyi, akan menyadari beberapa perubahan atau batasan dalam suaranya. Ini termasuk range vokal lebih rendah atau mengalami pemanasan vokal berkepanjangan dengan kualitas suara serak atau rendah.
Pada anak-anak, LPR sering disertai dengan:
- Penyakit saluran pernapasan atau asma
- Kesulitan makan
- Gangguan pertumbuhan (atau ketidakmampuan untuk menambah berat badan)
- Kesulitan menelan
- Muntah berulang
- Infeksi Telinga Berulang
Cara menentukan Diagnosis LPR
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan visual tenggorokan, khususnya bagian belakang pita suara. Jika dokter menemukan adanya tanda pembengkakan atau iritasi di tenggorok, pasien cenderung didiagnosis menderita LPR. Dokter kemudian akan melakukan tes lebih lanjut untuk memastikan diagnosis. Tes ini bisa meliputi:
- Tes menelan
- Pemeriksaan Endoskopi
- Tes pH 24 Jam
Laryngopharyngeal reflux, sama seperti penyakit refluks lainnya seperti GERD atau penyakit ekstraesophagealreflux, biasanya diobati oleh dokter spesialis gastroenterologist namun, kondisinya terkadang juga memerlukan keahlian spesialis THT (telinga, hidung, tenggorokan) jika pasien menunjukkan gejala seperti suara serak dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau jika terjadi perdangan pada laring.
Pengobatan LPR
Pengobatan yang paling efektif untuk LPR ialah kombinasi dari pengobatan dan perubahan gaya hidup.
A. Modifikasi Gaya Hidup
- Kurangi porsi makan
- Makan 3 jam sebelum tidur
- Hindari makanan yang merangsangaktifitas lambung seperti gorengan, lemak, coklat, alkohol, kopi, minuman soda, jeruk, tomat dan cuka serta makanan pedas
- Diet rendah lemak dan tinggi protein
- Menurunkan BB yang berlebih
- Tinggikan kepala saat tidur
- Hindari pemakaian pakaian ketat
- Stop merokok
B. Terapi Obat-obatan
- Obat-obat golongan PPI seperti omeprazole selama 6 bulan
- Antasida
- Obat prokinetik
Pada beberapa kasus yang kronis/parah, dapat dipertimbangkan prosedur pembedahan yang disebut laparoskopi. Prosedur ini, yang juga digunakan untuk mengobati penyakit refluks gastroesofagus dan hiatus hernia, dilakukan oleh seorang ahli bedah umum. Tujuan tindakan ini untuk mencegah isi lambung kembali ke arah kerongkongan. Karena termasuk prosedur minimal invasif, prosedurnya umumnya aman dan membutuhkan waktu pemulihan yang singkat. Namun, pembedahan hanya akan dilakukan saat terapi medis dan perubahan gaya hidup gagal membantu pasien.*
* Penulis adalah dr. Steven Latupeirissa, Dokter pada Rumah Sakit Umum Penyangga Perbatasan (RSUPP) Betun, Kabupaten Malaka