Malaka, Sakunar — Kebanyakan orang kerap memaksakan kepintarannya untuk mengomentari hal yang tidak diketahui atau tidak dimengerti secara pasti. Hasilnya, komentar yang disampaikan terkesan rancu dan tidak nyambung dengan pokok persoalan. Ada pula yang menyampaikan sesuatu tidak utuh untuk membenarkan diri dan membodohi orang lain.
Hal tersebut ditandaskan Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Malaka, Devi Hermin Ndolu, SH, S.IP kepada Sakunar, Sabtu malam (15/04/2022). Devi mengatakan hal tersebut terkait komentar-komentar publik seputar pernyataannya soal pergantian Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Malaka.
“Ada yang berkomentar seperti ini: “Tentu Bupati sudah berkonsultasi dengab pimpinan DPRD”. Lucu, bukan? Kami sebagai pimpinan dprd saja tidak pernah tahu soal ini, kok yang komentar tahu kalau bupati konsultasi dengan kami? Ini kan namanya sok tahu. Justru tidak ada konsultasi dengan pimpinan dewan maka kami katakan bupati tidak paham aturan”, tandas Devi.
Politisi PDI Perjuangan ini menambahkan, banyak juga yang berkomentar dengan mengutip undang-undang dan peraturan pemerintah yang lain. Hal ini, menurut dia, merupakan upaya pembodohan terhadap rakyat. Sebab acuannya jelas yakni Undang-Undang Pemerintah Daerah dan turunannya.
“Ada lagi yang kutip undang-undang dan peraturan pemerintah tentang ASN. Aturab yang disampaikan itu benar, tapi ada yang terlupakan, yaitu undang-undang pemda. Baca itu undang-undang pemda dan turunannya, yakni peraturan pemerintah tentang perangkat daerah. Kalau lari dari situ berarti ada upaya pembodohan terhadap rakyat. Dan ingat bahwa membangun Malaka jangan dilakukan dengan cara membodohi rakyat”, tandas Ketua DPC PDI Perjuangan Malaka ini.
Sebelumnya dibertakan, Wakil Ketua I DPRD Kabupaten Malaka Menilai Bupati Malaka tidak paham aturan soal pengangkatan dan pemberhentian Sekwan. Pasalnya, Bupati Malaka memberhentikan dan mengangkat Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada Jumat (14/01/2022) tanpa sepengetahuan Pimpinan DPRD Kabupaten Malaka.
Karenanya, pemberhentian dan pengangkatan Sekwan tersebut dinilai cacat hukum. Alasannya, karena hal tersebut dinilai melanggar regulasi yang ada, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MD3, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016. Dimana, dalam regulasi-regulasi tersebut diatur bahwa pengangkatan dan pemberhentian Sekwan di DPRD kabupaten dilakukan dengan surat keputusan (SK) bupati atas persetujuan dengan pimpinan dprd kabupaten.
Diberitakan juga sebelumnya, bahwa Ketua DPRD Kabupaten Malaka, Adrianus Bria Seran, SH mengaku, dirinya selaku Ketua DPRD Kabupaten Malaka tidak tahu-menahu soal penggantian Sekwan tersebut. Karenaya, Adrianus memastikan, pemberhentian Carlos Mones dan pengangkatan Yosefina Bete Manek untuk jabatan Sekwan tersebut cacat hukum.
“Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Pemerintah Daerah sangat jelas, bahwa pengangkatan dan pemberhentian sekwan atas persetujuan pimpinan dprd. Dalam undang-undang 17 tentang MD3 juga jelas. Kemudian dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah”, tandas Adrianus, yang juga Ketua DPD II Partai Golkar ini kepada wartawan di Haitimuk, Jumat sore (13/01/2022).
Adrianus juga menjelaskan, pengangkatan dan pemberhentian Sekwan berbeda dengan organisasi perangkat daerah lainnya. Karena Sekwan juga bertanggung jawab kepada pimpinan dprd, selain kepada kepala daerah.
“Kenapa dalam pengangkatan Sekwan harus melalui persetujuan pimpinan DPRD? Karena dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, Sekwan tidak hanya bertanggung jawab kepada Bupati, tetapi juga kepada Pimpinan DPRD. Bahwa secara administratif, memang Sekwan bertanggung jawab kepada bupati, tetapi secara teknis, sekwan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD”, tutupnya.
Diketahui, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 3014 Tentang Pemerintah Daerah jelas mengatur dalam Pasal 205, ayat (2), bahwa Sekwan Kabupaten diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Bupati atas persetujuan Pimpinan DPRD kabupaten.
Hal yang sama diatur juga dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 420 ayat (2). Dua undang-undang ini kemudian dipertegas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016, Pasal 31, ayat (3). Bahkan, dalam PP ini diatur lebih tegas bahwa pengangkatan dan pemberhentian sekwan dilakukan dengan SK bupati atas persetujuan pimpinan DPRD setelah berkonsultasi dengan pimpinan fraksi.*(JoGer)
Catatan Redaksi: Berita ini membutuhkan konfirmasi dan klarifikasi segera. Redaksi memberi ruang klarifikasi seluas-luasnya kepada semua pihak terkait.