Praja Dan Mantan Kades Sederhana Dan Rendah Hati Itu Telah Pergi

oleh -1,608 views

Malaka, Sakunar — Tulisan ini sebenarnya saya buat untuk mengenang seorang ayah, Frans Bere Lekik. Beliau adalah suami Maria Hoar Seran (almarhumah) dan ayah dari Servasius Bere (almarhum), Fransiska Bere, Maria Anaguntilde Bere, Marselinus Bere, Albertus Fridus Bere dan Frederikus Bere. Tetapi sejatinya, Frans Bere Lekik tidak hanya menjadi ayah bagi anak-anak yang namanya disebut di atas, tetapi menjadi ayah bagi seluruh anak Kakaluk Abanat, Uma Makbalin, Rabasa. Menikahi wanita sulung dalam keluarga ini, Frans harus menjadi ayah bagi adik-adik Maria (alm). Demikian juga, sebagai anak sulung dalam keluarganya di Kletek, Frans harus menjadi kakak sekaligus ayah bagi begitu banyak saudara dan ponakan.

Deskripsi di atas, hanya untuk menunjukkan betapa rendah hati dan betapa besar jiwa seorang Frans dalam hidup berkeluarga. Di jamannya, di Tahun 1960-awal, kehidupan masyarakat di Belu Selatan (Kabupaten Malaka saat ini) belum semaju saat ini. Menjadi pegawai pemerintah di saat itu adalah sebuah posisi strategis yang tidak diraih banyak orang. Dan orang yang mendapat posisi itu dianggap memiliki kehidupan yang lebih baik. Contoh sederhana, hanya orang yang makan gaji pemerintah yang bisa makan nasi putih (sebutan untuk nasi dari beras padi) dan bisa naik sepeda. Nah, dalam situasi ini, Frans Bere Lekik tidak menggenggam apa yang diperolehnya dengan menjadi pemerintah untuk dirinya, isterinya dan anak-anaknya sendiri. Frans dan Maria rela mempunyai banyak sekali anak, baik di Kletek maupun di Rabasa.

Terlepas dari itu, ketika menulis semacam biografi ini, saya jadi teringat, bahwasanya Frans Bere Lekik tidak hanya sekedar seorang suami, bapak, om dan opa. Frans juga merupakan seorang abdi negara. Dari penuturannya sendiri semasa hidup, Frans diterima menjadi seorang Polisi Pamong Praja pada Tahun 1960-an awal, atau beberapa tahun setelah Kabupaten Belu terbentuk pada Tahun 1958. “Gaji saat itu 450 rupiah”, begitu kata-kata beliau yang masih terngiang di telinga kami anak-anaknya.

Pada Tahun 1962, Frans ditugaskan ke Kantor Camat Malaka Barat di Besikama. Kala itu, Malaka Barat merupakan bagian dari Kabupaten Belu. Dan di Malaka Barat ini Frans mengabdikan seluruh hidupnya. Di Malaka Barat beliau mengabdi, menemukan cinta sejatinya, menjalani hampir seluh umur hidupnya. Di tanah Malaka Barat pula tulang-belulangnya akan kembali berbaur dengan tanah.

Menjadi aparat negara di Malaka Barat kala itu, Frans Bere dikenal bukan hanya orang Malaka Barat saat ini, tetapi oleh masyarakat 4 kecamatan saat ini, yakni Malaka Barat, Wewiku, Weliman dan Rinhat. Dulu, 4 kecamatan itu hanya satu, yakni Malaka Barat.

Dalam perjalanan kariernya, Frans Bere Lekik pernah diberi kepercayaan untuk menjabat Kepala Desa Rabasa di Kecamatan Malaka Barat. Kira-kira itu terjadi antara Tahun 1992-1996. Saat itu wilayah Desa Rabasa meliputi wilayah Desa Rabasa, Halibasar, Loofoun dan Rabasa Haerain saat ini. Frans memimpin Desa Rabasa dengan spirit mengabdi kepada masyarakat, yang nota bene adalah mertua-mertuanya.

Dalam kepemimpinannya, Frans membuat terobosan – terobosan yang membuat namanya tetap dikenang. Salah satunya adakah memekarkan Desa Rabasa menjadi dua, dengan lahirnya Desa Halibasar (sekarang masuk wilayah Kecamatan Wewiku). Di Kemudian hari, Desa Rabasa menjadi 4 desa hingga saat ini.

Pada masa kepemimpinannya, Frans memindahkan Kantor Desa Rabasa dari Wekfau ke Bateti, untuk memudahkan akses masyarakat ke pusat pemerintahan desa kala itu. Dan untuk menggenjot ekonomi rakyat, Frans mendorong lahirnya Pasar Mingguan Bateti, berlokasi di sekitar Kantor Desa yang baru dibangun kala itu. Pasar ini masih tetap bertahah hingga saat ini, setiap hari Kamis, walau tak seramai dahulu.

Kepala Desa Frans juga menempuh banyak cara untuk mendatangkan modal bagi masyarakatnya. Maklum, kala itu belum ada Dana Desa dan Alokasi Dana Desa. Tetapi Frans mampu memperjuankan aspirasi rakyatnya, mendatangkan modal berupa alat pencari ikan bagi masyarakat pesisir di sekitaran Beirasi (Desa Rabasa Haerain saat ini).

Pada masa kepemimpinannya, ketika program Inpres Desa Tertinggal (IDT) digulirkan pemerintahan Orde Baru, Frans mendaftarkan Desa Rabasa sebagai Desa Tertinggal.

“Ya, teman-teman kepala desa menertawakan saya. Mereka bilang, pak Frans kok tidak malu mengaku miskin. saya bilang tidak apa-apa. Tapi dalam hati saya bilang, saya akui miskin supaya rakyat saya dapat bantuan”, ceritera Frans dalam suatu kesempatan.

Dan ternyata benar saja, Gubernur NTT waktu itu, yakni Herman Musakabe, datang sendiri ke Desa Rabasa untuk menyerahkan bantuan sapi program IDT tersebut. Saya tidak bermaksud katakan bahwa kehadiran gubernur ini adalah sebuah prestasi. Tapi pada zaman itu, kunjungan gubernur ke kabupaten itu barang langka, apalagi langsung berkunjung ke desa.

Masih ada satu hal lagi yang patut dikenang dari seorang Frans Bere Lekik ketika menjabat Kepala Desa Rabasa adalah membuka ruas jalan Besikama – Webriamata, khususnya titik persawahan Raimataus — Jembatan Weliman (Klete As) dan yang melintasi Rabasa Haerain dan Wemean. Sebelumnya, jalan tersebut menyisir batas kebun dan pematang sawah warga dan posisinya pun bukan pada jalan sekarang. Jembatan pun hanya berupa sebatang kayu yang kiri kanannya ditancapkan kayu untuk pegangan ketika menyeberang.

“Pada jaman orde baru itu gotong-royongnya masih sangat kental. Dengan cara itu kami buka jalan. Saya senter dengan motor dan jalan dibuka sesuai nyala lampu motor supaya lurus. Untuk jembatan, kami potong kelapa tua milik misi dan gotong uth untuk buat jembatan”, kata Frans di suatu waktu.

Manusia, pada prinsipnya adalah mahkluk fana. Manusia tidak abadi. Lahir, hidup dan memberi makna pada hidupnya, lalu menjadi tua dan kembali kepada sang pemberi hidup. Demikian jugs anak manusia bernama Frans Bere Lekik. Ia pernah lahir, maka ia harus kembali kepada sang pemberi hidup. Frans tutup usia dalam pelukan orang-orang yang mengasihi dan dikasihinya pada Senin, 08 November 2021.

Kini, Frans Bere Lekik, Ayah, Praja dan Mantan Kepala Desa (Kades) itu telah pergi. Seperti kata pepatah, bahwasanya Gajah mati meninggalkan gading, Frans Bere Lekik telah pergi meninggalkan banyak kenangan tak terlupakan. Ia telah ada dalam keabadian dan namanya akan tetap abadi dalam setiap buah pikir dan karya-karya tangannya. Selamat jalan Sang Ayah.*

Rabasa, Rabu, 10 November 2021
John Germanus Ama Seran

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.