Scroll untuk baca artikel
Nasional

Catatan Kritis Untuk Hakim Mahkamah Konstitusi

168
×

Catatan Kritis Untuk Hakim Mahkamah Konstitusi

Sebarkan artikel ini

Oleh : Dr. Yohanes Bernando Seran, SH., M.Hum

Sesuai jadwal Mahkamah Konstitusi (MK) sidang gugatan Hasil Pilkada Serentak 2024 akan dimulai pada Januari 2025. Dalam konteks pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang MK sebagaimana diatur secara limitatif dalam pasal 24 c UUD 1945, berikut ini akan dipaparkan catatan kritis untuk para Hakim MK sebagai suatu sudut pandang ilmu hukum selain sudut pandang lain yang dianut para Hakim MK.

Catatan ini bukan untuk menggurui para Hakim MK tetapi lebih bersifat alternatif pemikiran untuk komplementer pemahaman paripurna tentang penegakan hukum.

Bahwa Negara Hukum ( _Rechtstaat_ ) bangsa Indonesia didasarkan pada sistem hukum yang kita anut yaitu Eropa Kontinental yang secara substantif didasarkan pada cara pandang Positivisme Hukum sebagaimana digambarkan Austin dan Hans Kelsen sebagai faham yang seyogyanya taat dan berpihak pada UU atau konstitusi.

Baca Juga:  63 Perkara PHP Pilkada Ditolak MK, Ini Penjelasan Soal Perkara Belum Terjadwal Putusan Sela

Dalam konteks ini penegak hukum termasuk Hakim MK dalam memeriksa dan memutus perkara seperti gugatan Pilkada wajib hukumnya untuk mengikuti atau berpedomankan pada ketentuan UU dan atau konstitusi. Hal ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mencapai tujuan hukum ideal yaitu Kepastian Hukum ( _Rechtssicherheit_ ), Kemanfaatan ( _Zweekmassigkeit_ ) dan Keadilan ( _Gerechtigkeit_ ).

Dalam konteks ini, Hakim MK wajib hukumnya untuk memeriksa dan memutus perkara sengketa pilkada sesuai dengan tugas dan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 24 c UUD 1945 yaitu untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihaan umum.

Dengan demikian dapat dikonklusi bahwa memeriksa dan memutus perkara pilkada diluar perselisihan hasil pilkada dapat dimaknai tidak konstitusional dan harus batal demi hukum ( _Nietige van Recht Wege_ ).

Baca Juga:  MK Beri Penghargaan Kepada Juara Pesta Pelindung Gereja Paroki Bolan

Konklusi ini dapat direduksi manakala Hakim MK dalam memeriksa dan memutus perkara Pilkada juga pada waktu yang sama sedang menemukan hukum ( _Rechtsvinding_ ) sejauh untuk mengkonkretisasi, mengkristalisasi dan mengindividualisir peraturan hukum ( _Das Sollen_ ) yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkrit ( _Das Sein_ ) sebagaimana ditulis Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Penemuan Hukum (Januari 2000).

Dengan demikian dapat dimaknai gugatan pilkada yang didasarkan pada fakta adanya pelanggaran/kejanggalan dalam proses pilkada, kecurangan rekapitulasi dan tidak terpenuhinya syarat administratif dapat dikualifikasi sebagai _error in objecto_ karena tugas MK adalah memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilu (termasuk Pilkada).

Baca Juga:  Sengketa Pilkada Manggarai Barat Tahun 2020 Kandas Di MK, Ini alasannya!

Dengan demikian gugatan di luar PHPU sesuai hukum murni dapat dikesampingkan dan atau ditolak dalam persidangan sejauh Hakim MK sedang melakukan _Rechtsvinding_ (Penemuan Hukum) atau sesuai jurisprudensi yang sudah ada.

Contoh kasus, gugatan hasil Pilkada Kabupaten Belu yang dilakukan dr. Agus Taolin adalah tidak ada kaitan dengan perselisihan hasil pemilu karena itu dapat dimaknai _error in objecto_ ketika Hakim MK sedang menegakkan paham _positivisme_ hukum dalam memeriksa gugatan dimaksud.

Pemaknaan Hakim MK akan berubah manakala Hakim MK sedang melakukan Penemuan Hukum dalam rangka menjadikan obyek gugatan non perselisihan hasil kepada proses yang salah dalam tahapan Pilkada di KPU, Bawaslu dan Gakkumdu.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *