Sakunar — Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan mengupayakan kemandirian sediaan farmasi dan alat kesehatan (Alkes) di Indonesia sehingga sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dibutuhkan oleh pelayanan kesehatan dalam segala kondisi dapat terpenuhi.
Saat ini kondisinya sektor farmasi dan alkes masih bergantung pada impor secara signifikan. Sebanyak 90% bahan baku obat untuk produksi farmasi lokal masih diimpor. 88% transaksi alat kesehatan tahun 2019-2020 di e-katalog merupakan produk impor.
Sebanyak 0,2% total GDP digunakan untuk penelitian dan pengembangan terbilang rendah jika dibandingkan USA (2.8%) bahkan Singapura (1.9%), dan pelaksanaan uji klinik di Indonesia 7,6% dari total uji klinik di negara ASEAN.
Jumlah uji klinik yang dilakukan di Indonesia (787) lebih rendah dari Thailand (3.053) dan Singapura (2.893).
RUU Kesehatan akan meningkatkan kemandirian dalam memproduksi sediaan farmasi dan alat kesehatan. Solusi yang ditawarkan RUU antara lain mendorong penggunaan bahan baku dan produk dalam negeri serta memberikan insentif bagi industri dalam negeri.
RUU Kesehatan juga mencakup bagaimana membangun ekosistem penelitian yang mendukung inovasi dengan menyediakan infrastruktur serta memudahkan perizinan.
Secara lebih detil, RUU Kesehatan topik ketahanan kefarmasian ini menawarkan pemecahan masalah yang dihadapi terkait ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan.
Untuk menyelesaikan permasalahan sistem kesehatan pemerintah memasukkan pengaturan tentang tanggung jawab pemerintah, pelestarian, dan pemanfaatan sumber bahan baku, penelitian, pengutamaan produksi dalam negeri baik bahan baku maupun produk jadi, juga optimalisasi insentif dan peningkatan daya saing industri sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam negeri.
Dalam RUU Kesehatan ini juga terdapat pengaturan tentang strategi untuk mencapai kemandirian sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dapat dicapai melalui penguatan rantai pasok yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
Pemenuhan sediaan farmasi yang diproduksi di dalam negeri dimaksudkan untuk mencapai ketahanan dengan berbagai langkah kebijakan yang berpihak pada industri nasional.
Untuk mendukung inovasi dan ekosistem penelitian, pemerintah memberikan kemudahan dalam penyelenggaraan hilirisasi penelitian nasional untuk meningkatkan daya saing industri sediaan farmasi dan alat kesehatan.
Sebagaimana Indonesia telah melewati pandemi COVID-19, RUU Kesehatan ini juga menjawab kebutuhan nasional dalam menghadapi kedaruratan, ketidakpastian akses sediaan farmasi dan alat kesehatan yang dialami berbagai negara, termasuk Indonesia, juga untuk mengantisipasi peningkatan penyakit dan interval pandemi.
Pada RUU ini, pemerintah mengusulkan tambahan substansi pengaturan tentang kebijakan standar, sistem, dan tata kelola sediaan farmasi dan alat kesehatan pada kondisi KLB, wabah, dan bencana, sehingga Indonesia memiliki ketahanan pada segala kondisi yang terjadi, termasuk terhadap akses sediaan farmasi dan alat kesehatan global.
Dalam rangka membuka ruang diskusi yang lebih luas antara pemerintah dengan seluruh pemangku kepentingan terkait RUU Kesehatan, khususnya pada substansi Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Ditjen Farmalkes) menyelenggarakan pertemuan Sosialisasi dan diskusi pada Senin (27/3) di Jakarta.
Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono menjelaskan posisi pemerintah adalah menetapkan tujuan utama yang ingin diraih yakni ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan.
Hal itu didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan sediaan farmasi dan alat kesehatan dalam setiap kondisi.
”Landasan hukum yang kita buat ini merupakan penyempurnaan yang sudah ada sebelumnya di bidang farmasi dan alat kesehatan. RUU ini akan jadi landasan untuk melakukan pembangunan kesehatan ke depan dengan transformasi kesehatan,” ujar Prof. Dante.
Prof. Dante mengajak seluruh komponen masyarakat memanfaatkan RUU Kesehatan sebagai kolaborasi bersama pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan dalam meningkatkan kemandirian sediaan farmasi dan alat kesehatan.
”Kita akan pecahkan bersama masalah yang ada, seperti ketergantungan terhadap bahan baku impor, serta hambatan penelitian-pengembangan obat dan alat kesehatan,” ungkap Prof. Dante.
“Solusinya dilakukan melalui regulasi yang mengatur penggunaan bahan baku produksi dalam negeri dan insentif terkait, serta regulasi yang membentuk ekosistem riset dalam mendukung inovasi obat dan alat kesehatan,” sambungnya.
Dirjen Farmalkes Dr. L. Rizka Andalucia mengatakan RUU Kesehatan ini memuat beberapa pasal yang mengupayakan kemandirian kefarmasian dan alat kesehatan Indonesia.
”Penguatan pada skema bisnis industri, jelas bagaimana posisi pemerintah dalam memfasilitasi penguatan bisnis dan keberpihakan kepada kemandirian industri dalam negeri untuk meningkatkan daya saing industri dan daya saing nasional,” kata Dirjen Rizka.
Ia mengharapkan partisipasi berbagai pihak dalam RUU ini untuk memberikan masukan. Tujuannya agar masyarakat mendapatkan akses pelayanan kesehatan dengan lebih baik dan lebih efisien.(*)