SAKUNAR — Kasus dugaan kekerasan terhadap anak dibawah umur di wilayah hukum Polres Malaka masih tinggi. Hampir setiap hari, Sat Reskrim, melalui unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) menerima laporan terkait hal ini.
Tingginya kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur di wilayah hukum Polres Malaka ini diungkapkan Kapolres Malaka, AKBP Rudi J. J. Ledo, SH, S.I.K melalui Kasat Reskrim, AKP Alfredus, SH.
Kasat Reskrim, AKP Alfredus Sutu, SH mengatakan hal tersebut ketika dikonfirmasi wartawan di ruang kerjanya di Mapolres Malaka, beberapa waktu lalu.
Walau demikian, kata Kasat Reskrim, dalam penanganan laporan kasus dugaan kekerasan seksual terhadap anak dibawah umur, terdapat beberapa hal yang menjadi kendala.
Empat point tersebut, lanjut dia, sudah pernah disampaikan kepada Pemda Malaka melalui Dinas Pengendalian Penduduk, BKKBN dan Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak.
“Ada empat hal yang seharusnya ada dalam penanganan kasus yang berkaitan dengan PPA tetapi kita di Malaka belum ada,” ujar AKP Alfredus Sutu, SH.
Empat hal dimaksud, menurut AKP Alfred, adalah psikolog pendamping, rumah aman, biaya visum korban dan sosialisasi.
“Ketika kami limpahkan berkas ke kejaksaan, kami selalu ditanya terkait psikis anak yang menjadi korban. Yang bisa menentukan kondisi psikis anak yang menjadi korban adalah kewenangan psikolog. Maka kami pernah berkoordinasi dengan pemda untuk disediakan seorang psikolog,” ujarnya.
Sementara, rumah aman sangat dibutuhkan untuk menghindari ancaman dan tekanan bagi anak, yang menjadi korban.
“Satu hal lagi adalah rumah aman. Sehingga anak yang menjadi korban tidak berada dalam tekanan atau ancaman. Karena dalam beberapa kasus, anak yang menjadi korban selalu berubah keterangannya, karena dugaan kita ada dalam tekanan,” jelas dia.
Padahal, sepatutnya anak yang menjadi korban harus mendapat perlindungan. Sehingga kehadiran rumah aman sangat diperlukan.
Kesulitan lain yang dihadapi dalam penanganan kasus PPA, tambah AKP Alfredus, adalah soal biaya visum, yang selama ini dibebankan kepada korban dan keluarga. Karena itu, kerap pihaknya mengalami kesulitan jika mau melakukan visum.
Padahal, hasil visum sangat dibutuhkan dalam penanganan kasus.
Selain itu, tambah Kasat Reskrim, sosialisasi menjadi langkah preventif atau pencegahan yang sangat tepat terkait hal ini.
“Sayangnya, sosialisasi ini tidak dilakukan selama ini, selain 2 kali kegiatan yang diadakan oleh pihak Gereja. Maka, harapan kita, pemda melalui dinas terkait bisa mengupayakan giat sosialisasi terkait ini,” tutupnya.*(JoGer)