Kupang, Sakunar — Kasus dugaan korupsi Pengadaan Beras Jaring Pengaman Sosial (JPS) Covid-19 di Pemerintah Provinsi NTT senilai 71,7 Miliar Rupiah dilaporkan ke Polda NTT. Diketahui, pelaksana proyek pengadaan beras JPS tersebut adalah BUMD milik Pemprov, PT. FLOBAMOR.
Laporan ke Polda NTT terkait kasus dugaan korupsi tersebut dilakukan oleh Matheus M. Sare, salah satu Advokat asal NTT yang saat ini berkarya Jaya Pura, Provinsi Papua.
Matheus menjelaskan, laporan tersebut telah diaampaikannya ke Kapolda NTT, cq Direktur Reserse Krimsus, melalui Surat Elektronik pada 17 Juni 2022. Perihal Surat adalah Permohonan Proses Hukum Dugaan Tindak Pidana Korupsi Beras JPS Covid-19 Tahun 2020.
Matheus meminta Kapolda NTT selidiki (Lidik) kasus tersebut dan menerapkan pasal hukuman mati karena diduga melakukan tindak pidana korupsi pada proyek dalam keadaan tertentu atau darurat atau penanggulangan bencana.
“Berdasarkan peristiwa dan fakta hukum yang terungkap terhadap dugaan tindak pidana korupsi keuangan Negara RI dalam Pengadaan Beras JPS Covid-10 Tahun 2020 bagi masyarakat NTT pada Dinas Sosial Provinsi NTT oleh PT. Flobamor-Kupang melalui pemberitaan dalam link berita ini pada Media Suara Flobamora (terlampir), maka oleh karena itu kami selaku warga negara RI, mohon kepada Bapak selaku Kapolda NTT melalu Pejabat Penegak Hukum Pemerintah RI yang berwenang pada Polda NTT dalam hal ini Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda NTT untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara a quo (tersebut, red),” tulis Matheus dalam surat elektroniknya.
Menurut Matheus, pada Tahun 2021 terhadap dugaan tindak pidana korupsi perkara tersebut telah dilaporkan oleh Gerakan Republik Anti Korupsi (Grak) oleh Ketua GRAK an. Yohanes Hegon Kelen pada KPK RI dan telah ada Supervisi dari KPK RI kepada Polda NTT.
“Terhadap dugaan tindak pidana korupsi perkara a quo diduga para pelaku tindak pidana korupsi yaitu pejabat pemerintah daerah Povinsi NTT dan Pihak Korporasi dalam hal ini Pimpinan PT. Flobamor telah merugikan keuangan negara RI dengan cara, Bersama-sama melawan Hukum dan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan menyalahgunakan kewenangan, sarana dan prasarana yang ada padanya karena jabatan pada keadaan tertentu yaitu penanganan ekonomi rakyat NTT akibat dari dampak Virus Covid-19,” papar Matheus.
Oleh karenanya, lanjut Matheus, para pelaku tindak pidana korupsi perkara tersebut telah melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Lazim disebut UU Tipikor jo. Pasal 55 KUHP jo. 56 KUHP.
Menurut Matheus, karena dugaan korupsi tersebut terjadi dalam proyek dalam keadaan tertentu (pandemi Covid-19) maka para terduga pelaku dapat dikenakan tuntutan Pidana Mati. “Oleh karena hukum terhadap dugaan tindak pidana korupsi perkara a quo dilakukan oleh para pelaku tindak pidana korupsi pada keadaan tertentu, maka dapat dijatuhkan/dihukum dengan Pidana Mati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor,” tandasnya.
Matheus menjelaskan, dalam dugaan tindak pidana korupsi perkara tersebut telah ada alat bukti tulisan surat berupa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI terhadap kerugian negara RI. “Oleh karena itu dapat mempermudah Pejabat Penegak Hukum Pemerintah RI pada Polda NTT dalam hal melakukan penyelidikan untuk mencari alat bukti tambahan agar dapat memperoleh 2 (dua) alat bukti permulaan cukup untuk ditingkatkan pada penyidikan yaitu penetapan tersangka bagi diduga para pelaku tindak pidana korupsi,” bebernya.
Ia memaparkan, menurut hukum unsur-unsur pidana korupsi dalam perkara tersebut telah terpenuhi yaitu, antara lain unsur:
- Setiapa orang;
- Korporasi;
- Bersama-sama;
- Kerugian Keuangan Negara RI;
- Meyalahgunakan Kewenangan, Sarana, Kesempatan ada padanya karena Jabatan dengan melawan hukum;
- Menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi;
- Keadaan tertentu yaitu penyaluran beras JPS Covid-19 Tahun 2020 untuk mengatasi ekonomi rakyat NTT akibat dampak virus Covid-19.
Dengan demikian, kata Matheus, tidak ada alasan hukum yang patut bagi Pejabat Penegak Hukum Pemerintah RI/Negara baik pada Polda NTT maupun pada KPK RI untuk tidak melakukan penyelidikan dan/ penyidikan.
Selain daripada itu, lanjutnya, hal yang terpenting harus/wajib dipertimbangkan oleh pejabat Penegak Hukum Negara RI yang berwenang bahwa akibat pemberitaan yang dilakukan oleh Fabianus Latuan selaku Jurnalis yang berintegritas tinggi yang hampir hilang nyawanya di tangan diduga Para Preman Bayaran. “Bahwa selain itu perkara a quo diduga sangat berkaitan erat dengan dugaan tindak pidana percobaan pembunuhan berencana atau pengeroyokan atau penganiayaan berat yang dialami korban an. Fabianus Latuan, dimana saat ini dalam proses hukum,” ungkap Matheus.
Matheus menduga, dugaan tindak pidana korupsi tersebut melibatkan para penguasa pada Pemda Provinsi NTT. “Oleh sebab itu besar harapan kami terhadap perkara a quo segera diproses hukum dan diusut tuntas dari hulu hingga muara, karena hal tersebut penting dan patut demi hukum mengingat akan hak hukum bagi rakyat NTT, akibat dampak dari virus Covid-19 Tahun 2020,” tulisnya.
Menurutnya, yang perlu dihindari adalah timbulnya preseden buruk bagi penegakan hukum di Negara RI. “Jangan sampai rakyat RI, khususnya rakyat NTT menilai bahwa hukum positif milik negara RI diadakan hanya untuk menghukum rakyat RI yang lemah dan untuk melindungi oknum-oknum yang berkuasa di Negara RI yaitu penguasa dan pejabat negara RI atau pejabat pemerintah RI atau pihak swasta yang memiliki finansial,” tandas Matheus.*(Jo/tim)