“Duduk di situ, anjing”, Ferdi membentak kakaknya. Gadis itu hanya tertunduk dan menangis. Lebam di wajahnya jelas menyisahkan rasa sakit. Namun tak sesakit luka di hatinya. Luka oleh cinta yang tak direstui. Luka oleh caci maki adik kandung sendiri, yang selama ini sangat menghormatinya. Tapi tidak untuk malam ini. Malam ini telah mengubah segala-galanya. Malam ini telah membalikkan semuanya menjadi cercaan, umpatan dan caci maki.
“Anjing… kenapa kau masih berhubungan dengan pemuda tak tahu malu itu? Kenapa kau masih ke sana? Kau tahu kita sangat berbeda. Sangat jauh perbedaan di antara kita dan dia,” kata adiknya setengah berteriak.
“Saya mau telepon bapak dan mama sekarang. Mulai saat ini kami tidak mau mengenalmu lagi. Kau bukan keluarga kami lagi. Kau sudah dicoret dari keluarga. bekin malu keluarga saja”. Adiknya berlari ke luar.
Taka da lagi cacian yang mencabik hatinya. Ini kesempatan bagi Nina untuk melihat dengan jelas tetes-tetes air mata yang berguguran pada lantai tempat ia duduk. Ia memeluk kedua lutut yang ditopangkan ke dagunya. Ia menangis sejadi-jadinya. Menangisi guratan nasibnya. Menangisi cintanya dan cinta Johan, cinta mereka yang terbentur pada angkuhnya tembok perbedaan. Ya, perbedaan. Perbedaan yang entah tanggung jawab siapa. Agama….atau budaya…? Mengapa semuanya harus menjadi tembok yang menyekat anak-anak manusia satu sama lain? Mengapa semuanya harus menjadi lembah yang memisahkan manusia satu dengan manusia lain? Ia meratapi semuanya, semua pertanyaan yang sudah lama, dan entah sampai kapanpun, tak bisa dijawabnya.
Tapi malam yang mencekam itu tak mau memberikan kepada anaknya kesempatan itu lama-lama. Malam itu tak mampu memberinyakesempatan, walau hanya untuk menangis. Langkah-langkah kasar terdengar berebutan menghentak tanah di luar sana. “Apa lagi yang akan kuterima?”, keluhnya dalam hati.
Cacian dan bentakan-bentakan kasar kembali menampar telinga dan ahtinya. Kali ini bukan cuma dari satu mulut tapi dua. “Beginikah kau balas bapak dan mama punya kasih?”, maki Yeni, kakaknya. “Kau sudah bekin malu kita semua”, lanjutnya sambil mencabik rambut gadis malang itu dan membantingnya ke tanah. “Kau sudah bekin malu bapak dan mama. Besok saya ke rumah dan bilang bapak dan mama, kau bukan anak mereka lagi. Kau dicoret dari keluarga. Kami tidak mau kenal kau lagi”.
Malam telah jauh berlangkah dengan keheningannya, yang sungguhpun demikian, tak mampu memberikan sedikitpun ketenangan kepada gadis itu, juga kekasihnya yang entah sedang apa di sana. Tak ada lagi air mata yang bisa keluar, tapi bantal merah muda itu telah cukup basah untuk membuktikan kalau gadis itu telah lelah menangis. Guling dalam pelukannyapun tak lagi kering. Dirabanya pipi dan kening yang perih oleh air mata, keringat dan… darah. Perih. Tapi tak seperih hatinya yang terus merintih. Ingin ia manangis sekuat-kuatnya. Tapi tak sanggup lagi.
Ditatapnya langit-langit kamar. Bersih. Tak ada apa-apa di sana. Dibalikkan badannya ke dinding. Sepasang cecak berbaring diam di sana. Tenang sekali. Lahir rasa iri di hatinya.
“Kenapa aku dan kak Johan tak bisa menikmati ketenangan seperti mereka?” Ia menangis lagi. Tapi hanya di dalam hatinya. Ia berteriak, tapi tak ada yang mendengarnya, karena kata-kata itu hanya memantul di dinding tenggorokannya. Sedang bibirnya yang dicobanya untuk digerakkan, hanya mampu bergetar oleh rasa sakit karena tamparan adik dan kakaknya, juga oleh luka di hatinya. “Tidak, saya tidak boleh sedih seperti ini. Saya harus kuat. Saya harus keluar dari sini malam ini juga”, katanya pada diri sendiri.** (bersambung ke Bagian Ketiga)
Catatan Redaksi: Novel Serial TAK LARI DIKEJAR, PAGI MENJEMPUT Karya GS John diterbitkan berseri. Ini adalah bagian kedua.