Malaka, NTT — Jembatan Benenain yang menjadi penghubung Kota Betun dengan beberapa wilayah di selatan Kabupaten Malaka ambruk. Pantauan Sakunar per Minggu sore (04/04/2021), kondisi jembatan tersebut masih bisa dilalui oleh pejalan kaki dan kendaraan roda dua. Namun tidak bisa untuk kendaraan roda empat.
Kondisi ini membuat beberapa wilayah terisolasi, antara lain Kecamatan Malaka Barat, Weliman dan Rinhat serta 2 desa di Kecamatan Malaka Tengah. Arus mobilisasi orang dan barang menuju Kota Betun dan sebaliknya menjadi terhambat.
Dikonfirmasi Sakunar Minggu (04/04/2021), masyarakat di wilayah yang terisolir tersebut mengaku cemas dan khawatir akan kelangkaan Sembako dan BBM, yang akan berbuntut pada permainan harga oleh para spekulan dan pengecer.
Kecemasan dan kehawatiran masyarakat tersebut bukannya tanpa alasan. Warga mengaku, beberapa jenis sembako, seperti minyak tanah mulai langka di pasaran. “Malahan ada pedagang yang secara terang-terangan katakan kepada pembeli bahwa minyak tanah tidak dijual lagi. Padahal kita lihat jelas bahwa stoknya masih banyak. Ini sangat bahaya karena bisa terjadi penimbunan untuk mempermainkan harga”, ujar Stefanus Bria asal Kecamatan Wewiku.
Menurut Stefanus, kondisi seperti ini pernah terjadi di Tahun 2000 ketika jembatan Benenai putus. Kala itu, harga-harga barang mendadak dinaikkan hingga 10 kali lipat. “Nah, kalau barang yang mereka ambil dari grosir dengan harga tinggi boleh lah dijual dengan harga tinggi. Tetapi stok yang ada sekarang kan stok lama yang mereka ambil dari grosir dengan harga normal. Maka kalau mereka timbun lalu nanti jual dengan harga tinggi, kasihanlah rakyat. Sudah susah dibuat tambah susah lagi”, lanjutnya.
Karena itu, Stefanus berharap, Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum (APH) bisa melakukan kontrol terhadap distribusi dan harga sembako serta bahan bakar minyak (BBM). “Bila perlu Pemerintah buat operasi pasar untuk menjaga stabilitas harga”, ujarnya.
Senada dengan itu, Yosef Kehi, asal Kecamatan Weliman mengungkapkan, tanda-tanda kenaikan harga sembako di tingkat pengecer sudah mulai nampak. “Minggu lalu saya beli beras harganya masih 11 Ribu per kilo. Sekarang beras yang sama sudah jadi 13 Ribu per kilo. Saya tidak tau itu karena memang harga beras naik, atau harga naik karena bencana ini”, ujarnya.
Dirinya berharap, Pemerintah bisa melalukan sesuatu untuk menolong rakyat dalam menghadapi kesulitan ini. “Karena kalau seperti tahun 2000 otomatis kita sudah susah. Corona ini saja sudah buat kita setngah mati, sekarang tambah lagi banjir dan jembatan putus. Otomatis kita lebih susah lagi”, tutur Yosef.
Ditemui terpisah, seorang pengecer sembako di Kecamatan Wewiku yang minta namanya tidak dikorankan mengaku, dirinya belum tahu bagaimana cara untuk mendapatkan barang dagangan. Karena selama ini dirinya mendapatkan barang dagangan dari pemasok keliling yang datang dari Atambua, Kabupaten Belu yang datang melalui Betun.
“Kalau jembatan sudah putus begini tidak tahu mau belanja di mana lagi. Pasti kita sudah susah dapat barang. Kalau dapat dari kupang tentu ongkos transport mahal sehingga harus jual kembali dengan harga mahal juga”, ujarnya.
Terkait dugaan menaikkan harga barang saat ini dirinya menjawab secara diplomatis bahwa sesama pengusaha tidak akan saling tikung. “Misalnya kalau yang lain jual 10 Ribu lalu kita jual 7 Ribu maka kita dianggap potong harga”, jelasnya.
Pantauan Sakunar Minggu sore, banyak tempat usaha yang tutup. Kondisi ini sesikitnya menambah kecemasan masyarakat bahwa ada upaya dari para pedagang untuk menimbun barang untuk mempermainkan harga ditengah bencana ini.*(BuSer/ Tim)