JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia bisa saja memenangkan pasangan calon (Paslon) yang meraih suara terbanyak ke dua sebagai paslon terpilih dalam Pilkada. Hal tersebut bisa terjadi jika terbukti ada kecurangan yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) untuk memenangkan Paslon peraih suara terbanyak pertama.
Hal demikian diungkapkan Mantan hakim Mahkamah Konstitusi, Maruarar Siahaan, sebagaimana dilansir tribunnews.com, Minggu (07/03/2021).
“Tentang putusan sampai kepada diskualifikasi dan paslon yang memiliki suara terbanyak kedua ditetapkan sebagai paslon yang dilantik, tetap dimungkinkan,” kata Maruarar.
Walau demikian, kata Maruar, untuk sampai pada keputusan tersebut, MK harus memeriksa kinerja Bawaslu. Misalnya apakah ada kemungkinan Bawaslu tidak bekerja tidak sesuai dengan aturan.
“Kemudian MK perlu menguji pilkada yang terdapat pelanggaran hukum pemilu soal TSM. Jika pelanggaran TSM terbukti, kata dia, MK berwenang menyatakan paslon yang ditetapkan meraih suara terbanyak pertama untuk didiskualifikasi, dan kemudian menetapkan paslon pemilik suara terbanyak kedua dilantik sebagai pemenang pilkada”, lanjut Maruar.
Maruar menambahkan, MK juga dapat menyatakan pemilihan ulang, jika perolehan suara paslon yang diskualifikasi tidak berbeda jauh. Mekanisme pemungutan suara ulang ini bisa terjadi ketika jumlah paslon lebih dari dua.
“MK berwenang menyatakan paslon yang ditetapkan sebagai pemenang oleh KPU didiskualifikasi dan menyatakan pemenang kedua yang dilantik, atau jika suara pasangan calon di luar diskualifikasi tidak berbeda jauh, dapat menyatakan dilakukan pemungutan suara ulang, di luar keikutsertaan paslon yang didiskualifikasi,” ujar dia.
Selain itu, lanjut Maruarar, adanya indikasi kecurangan juga menjadi pertimbangan mahkamah ketika menerima perkara sengketa pilkada yang selisih suaranya melebihi syarat ambang batas.
Dia mengatakan, syarat ambang batas sendiri telah mendorong pasangan calon untuk mengejar selisih suara yang menjamin kemenangan mereka tidak bisa digugat ke MK.
“Jika ada petunjuk awal yang ditunjukkan dalam bukti-bukti yang menjadi lampiran permohonan, MK akan menunda sikap tentang ambang batas setelah memeriksa pokok perkara, untuk melihat benar atau tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran, termasuk yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif, dalam proses penyelenggaraan,” pungkas Maruarar.*(BuSer)
* dilansir dari tribunnews.com dalam pemberitaan Minggu, 07 Maret 2021 dengan judul: “Mantan Hakim MK Sebut Paslon Suara Terbanyak Ke Dua Bisa Menang Dalam Pilkada”