Catatan Reflektif: Keciprat Air Seni Disangka Hujan Telah Turun

oleh -952 views

Alkisah ada empat ekor katak yang hidup bersama di bawah tempurung dekat sebuah rumah penduduk. Kebetulan, wilayah itu sedang dilanda kemarau yang amat panjang. Jangankan hujan, embun pun enggan jatuh ke bumi. Empat katak itu sesekali merangkak keluar dari kungkungan tempurung untuk sekedar membasahi tubuhnya dengan sedikit limbah cair dari rumah penduduk. Namun, hari-hari belakangan, pemilik rumah nyaris tak pernah buang limbah cair, karena kemarau kian menjadi-jadi.

Empat katak terus berdoa, walau kerongkongan kian kerontang dan nada-nada doa kian parau. Sesekali mengintip ke luar tempurung untuk membaca apakah ada tanda hujan akan datang. Tetapi tanda-tanda itu tak kunjung datang. Malah, kemarau kian mencekik dan menyiksa.

Tibalah pada suatu hari, tubuh empat katak merasa aneh. Sesuatu yang lembab menyentuh kulit, walau terasa rada-rada hangat. Doa kita berhasil? Hujan telah datang? Empat katak saling bertanya. Tapi air hujan tidak hangat. Mungkin karena terbawa panasnya tanah alibat kemarau. Mereka terus berdebat. “Kenapa kita harus berdebat? Bukankah air yang kita cari? Karena sudah ada air, mari kita bernyanyi.

Empat katak pun bernyanyi dan menari di bawah tempurung, rumah mereka. Mereka menyanyikan lagu-lagu untuk menyindir dan mengumpat kemarau. Mereka mencela panas yang dituduh menghalangi datangnya hujan.

Tetapi nyanyian mereka tiba-tiba berhenti. Rasa lembab – hangat yang membelai kulit mereka tak ada lagi. Mereka lalu menyibak tempurung yang mengurungnya. Tetapi mereka tidak melihat hujan. Mereka tidak melihat apa-apa selain teriknya mentari dan anak pemilik rumah yang sedang mengancing celana usai membuang air seni. Air seni anak itulah yang mengalir ke dalam tempurung dan membasahi tubuh empat katak. Saat itulah mata mereka terbuka dan sadar bahwa air seni telah disangkanya air hujan. Bahwa nyanyian dan tarian mereka hampa. Bahwa mereka telah terjebak dalam euforia semu. Dan empat katak pingsan dalam hitungan yang sama.

Dalam banyak hal, manusia kerap terjebak dalam euforia semu yang sama, dengan menyelipkan sedikit rasa angkuh, egois, rasa diri paling baik, paling benar dan paling tahu. Bahkan, manusia sampai pada tahap mendewakan diri sebagai sumber kebenaran dan kebaikan. Dan sampai pada titik ini, manusia akan selalu memandang dan menilai orang lain tidak baik dan tidak benar. Orang lain akan dianggap musuh, tidak baik dan tidak benar jika punya pandangan yang berbeda dengannya.

Dan pada titik ini, manusia akan selalu memamdang rendah kepada orang lain. Sebaliknya, dirinya atau kelompoknya sendiri ia sanjung-sanjung. Dia lupa akan kata peptah bijak ini: “Merendahkan orang lain di depan umum tidak akan membuatmu semakin kuat, namun sebaliknya hal tersebut akan memperlihatkan bahwa dirimu adalah orang yang lemah”.*

SAKUNAR

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.