Hari ini, Rabu 17 Februari 2021, Tepat 5 Tahun Bupati Malaka perdana, dr. Stefanus Bria Seran, MPH (SBS) memimpin Malaka. Dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara ini, pada hari ini, SBS mengakhiri masa jabatannya untuk periode 2016-2021. Walaupun belum dapat dikatakan bahwa kepemimpinan SBS di Malaka berakhir (karena Pilkada Malaka 2020 masih bergulir di MK), namun masa 5 Tahun pertama berakhir pada hari ini.
Bertepatan dengan itu, pada hari yang sama ini, Gereja Katolik sejagat memulai masa Prapaskah, yang ditandai dengan Hari Rabu Abu. Pada hari ini umat Katolik menaburkan abu di kepala sebagai simbol bahwa manusia mengakui kerapuhannya: “Manusia berasal dari debu dan akan kembali kepada debu”. Dengan demikian manusia menggantungkan harapan dalam iman kepada kebesaran Tuhan, Sang Pencipta dan Pemberi Hidup. Umat Katolik mulai memasuki masa pantang dan puasa menyongsong Kebangkitan Kristus yang Mulia.
Apakah suatu kebetulan, 2 peristiwa besar ini jatuh pada hari yang sama? SBS mengakhiri masa 5 Tahun membangun Malaka dan Umat Katolik memasuki masa introspekasi diri menyongsong Kebangkitan Mulia. “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28). Dalam terang Iman, kita tahu bahwa Tuhan ada di balik semua peristiwa yang terjadi sehingga tidak ada kebetulan dalam hidup ini. Karenanya, manusia ditantang untuk mencari maksud Allah dibalik setiap peristiwa yang terjadi.
Mengenang 5 tahun perjalanan bersama SBS dalam upaya mengubah wajah Malaka yang baru lahir merupakan sebuah perjalanan panjang. Setiap langkah yang dilewati berkesan dan bermakna bagi Rai Malaka. Rasa-rasanya sebuah artikel seperti ini mustahil dijadikan wadah untuk mencatat langkah demi langkah yang dilalui Malaka bersama SBS selama 5 tahun.
Tetapi baiklah kita tengok sejenak ke belakang, pada langkah-langkah akhir Malaka bersama SBS untuk mencari maksud Tuhan dibalik 2 peristiwa besar hari ini. Tentu semua orang Malaka tidak asing pada Yel ini: “Sai…Sai…Sai…”. Yel itu akrab pada bibir sebagian masyarakat Malaka pada saat Kampanye jelang Pilkada Malaka 2020. Kata-kata itu diteriakkan oleh orang-orang yang dalam peta politik tidak menginginkan SBS memimpin Malaka untuk periode ke dua.
“Sai… Sai… Sai…”. Secara harafiah, kata-kata dalam Bahasa Tetum tersebut berarti: “Keluar.. keluar… keluar…”. Kata-kata ini memang kasar dan tidak pantas untuk diucapkan. Apalagi diucapkan oleh lawan politik yang pada kedua tangannya menggenggam erat semboyan: “Hakneter Haktaek, Sabete Saladi” (baca: saling menghormati, saling menghargai sesuai tatanan adat Malaka). Tetapi itu terjadi. Dan entah disadari atau tidak, itu akan tercatat dalam sejarah kelam Rai Malaka.
Seorang sahabat dari luar NTT, mengirimkan sebuah surat elektronik kepada saya:
“Teman, saya sangat terkejut mengikuti perkembangan politik di tempatmu. Pikiran saya selalu tertuju ke Golgota setiap kali melihat semua peristiwa yang disiarkan lewat media. Wanita-wanita berdiri di pinggir jalan sambil berteriak: Sai.. Sai.. Sai.. ketika Bupati lewat. Bukankah Sai artinya keluar? Sungguh, saya sangat tidak percaya dengan ini. Bupati ditriaki keluar?
Wah, rasa-rasanya bukan Malaka. Rasa-rasanya kita sedang ada dalam peristiwa 2000 tahun silam di Golgota. Dimana orang berteriak: Salibkan Dia… Enyahkan Dia… Sungguh, Teman… Golgota hidup kembali… Di Golgota, orang yang berteriak Salibkan Dia, adalah orang yang menikmati kebaikan Tuhan. Demikian juga, orang yang berteriak Sai.. Sai.. Sai… mungkin pernah menikmati hasil kerja dan kebijakan SBS, semisal berobat tanpa harus merogoh kocek. Ironisnya lagi, orang-orang itu sementara berdiri di atas aspal hitam yang baru ada di kampung ittu ketika SBS pimpin Malaka sambil teriaki orang yang bangun aspal itu: “Keluar”.
Teman, SBS itu Stefanus, ya? Dalam Tradisi Jawa, nama itu doa. Stefanus itu Martir pertama dalam sejarah Gereja Katolik. Dan sesungguhnya Stefanus itu hidup kembali di tempatmu. Stefanus yang harus menelan kepahitan kala diusir ketika melewati jalan yang ia bangun. Stefanus yang ditolak di Tanah Asalnya, oleh orang-orang yang pernah menikmati belaian tangan kasihnya. Ya, Stefanus yang ditolak seperti Gurunya, Yesus yang ditolak di Nazaret, kampung asalnya sendiri. O iya teman, Yesus sendiri pernah berkata bahwa seorang Nabi akan dihormati dimana-mana, kecuali di kampung asalnya sendiri”.
Teman saya kemudian menutup suratnya dengan sebuah konklusi iman, bahwa sesungguhnya SBS sedang menggenapi doa orangtuanya ketika memberinya nama: Stefanus. Bahwa mengikuti jejak Yesus Sang Martir Utama, Stefanus sedang menapaki jalan salibnya. “Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (Yohanes 1:11). Ia ditolak dan sedang dihakimi secara tidak adil. Saban hari, tak pernah lewat begitu saja tanpa adanya postingan media sosial yang mengadilinya secara tidak adil.
Ditinggalkan orang-orang ‘dekat’, itu sudah pasti. Kan ada Yudas dalam peristiwa Yesus. Juga tidak ketinggalan kaum Farisi yang selalu dikoreksi Yesus karena kemunafikannya. Semua sudah sepakat bahwa Yesus harus dilenyapkan. Dan itu sungguh mereka lakukan dan menurut mereka berhasil. Yesus dikhianati Yudas, ditangkap dan diadili secara manipulatif lalu dibunuh.
Tetapi tidak pernah sedikitpun terlintas dalam benak mereka semua, bahwa dibalik jalan salib itu ada Kemenangan. Bahwa dibalik persekongkolan jahat mereka ada Kebangkitan dan Kemuliaan. Yesus bangkit setelah melewati proses panjang jalan salib yang penuh persekongkolan dan manipulasi. Dan kata Santo Paulus, semua orang yang percaya pada Yesus akan ikut bangkit bersama Dia.(*)
*Sakunar