Malaka, NTT — Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Atambua yang mengadili kasus dugaan Money Politic Pilkada Malaka, 09 Desember 2020 dinilai keliru dalam menilai fakta hukumnya sehingga terkesan satu bahasa dengan GAKKUMDU.
Padahal, sesuai fakta kronologis peristiwa dan fakta -fakta persidangan dalam mengadili perkara a quo seharusnya dapat diuji secara jujur dan berimbang melalui proses pembuktian untuk dapat mengetahui dan menemukan kebenaran materiil, apakah sesuai dengan konstruksi hukum unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa, terpenuhi atau tidak.
Demikian diungkapkan Ketua Tim Tim Kuasa Hukum Terdakwa, Eduardus Nahak, SH ketika dikonfirmasi di SAKUNAR usai menyerahkan memori banding ke Pengadilan Negeri Atambua, Rabu (13/01/2021).
“Padahal secara ex officio seorang Hakim mempunyai kewajiban untuk menemukan kebenaran materil tanpa Terdakwa didampingi seorang pembela karena Pengadilan adalah harapan terakhir mereka yang lemah, buta huruf dan teraniaya secara hukum”, ujar Eduardus.
Oleh karena itu, lanjut dia, pihaknya akan membuktikan di pengadilan tingkat banding, berdasarkan fakta-fakta Kronologis peristiwa dan fakta-fakta yang terungkap di muka persidangan dikaitkan dengan unsur– unsur pasal yang didakwakan kepada Terdakwa, antara lain, Unsur “Setiap orang”; Unsur “Dengan sengaja melakukan perbuatan melawan Hukum”; dan Unsur “Menjanjikan atau memberi uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga Negara Indonesia baik secara langsung atau tidak langsunng untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suaranya menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu”.
“Pertama, kami menilai bahwa Majelis Hakim telah lalai dan keliru menerapkan hukum tentang Unsur Setiap Orang. Rumusan unsur “Setiap Orang” menunjuk kepada “Pelaku tindak pidana”, orang atau person yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Kemudian, dalam proses persidangan tidak terungkap fakta yang membuktikan Terdakwa telah mendapatkan klarifikasi oleh Bawaslu Kabupaten Malaka dan klarifikasi dari KPU Kabupaten Malaka yang menunjukan keterkaitan antara Terdakwa dengan Tim Sukses SBS-WT baik secara langsung maupun tidak langsung dengan induk organisasi TIM sukses atau dengan jaringan struktural Tim Sukses SBS-WT”, kata Eduardus.
Demikian juga, lanjut dia, tidak ada bukti adanya hubungan struktural antara Terdakwa dengan Tim Sukses SBS-WT, tidak ada keterangan satu saksi pun atau alat bukti surat atau petunjuk apapun yang dapat dijadikan rujukan atau dasar untuk membuktikan bahwa Terdakwa memiliki afiliasi politik dalam Pemilukada dengan paket SBS-WT. Maka, Terdakwa tidak memiliki kapasitas atau legal standing untuk melakukan money politic guna memenangkan paket SBS-WT sehingga Terdakwa yang nyata-nyata tidak memiliki kepentingan politik dalam urusan menang – kalah paket SBS-WT.
Demikian halnya, kalau dilihat dari kecendrungan sosial kemasyarakat warga Kabupaten Malaka yang tergolong gemar bermain judi, maka Terdakwa sama sekali tidak ada kepentingan politik dengan paket yang akan menang atau kalah namun mempunyai kepentingan ekonomi yakni ingin memiliki seekor Sapi Betina melalui taruhan sejumlah uang atau dalam istilah warga setempat “makan miring” karena harga sapinya lebih mahal tetapi pemiliknya hanya menawarkan untuk bertaruh melawan uang sebesar Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah.
“Oleh karena Terdakwa semata-mata hanya memiliki kepentingan ekonomi yakni berniat memiliki seekor Sapi Betina melalui taruhan sejumlah uang atau judi maka kualifikasi Terdakwa yang bukan bagian dari Tim Sukses Paket SBS-WT tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana atas uang yang telah disita sebagai barang bukti dengan tuduhan money politic. Dengan demikian, unsur Setiap Orang dalam delik money politik tidak terbukti secara sah dan menyakinkan menurut hukum”, tandas Eduardus.
Kedua, Tim Kuasa Hukum Terdakwa juga menilai bahwa Majelis Hakim telah lalai dan keliru menerapkan hukum tentang unsur dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum. Eduardus dan kawan-kawan menilai, bahwa keterangan para saksi tersebut merupakan testemonium de audito yang tidak memiliki kekuatan pembuktian untuk menentukan kesalahan Terdakwa atau perbuatan melawan hukum dari Terdakwa.
“Alasannya, karena dialog antara Terdakwa dengan saksi Pelapor atas nama Herman Klau Horak sebelum terjadi penyerahan uang sebesar Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah, yang sesungguhnya merupakan uang taruhan tidak didengar langsung oleh saksi Vinus Bere alias Maken, saksi Hendrikus Bria Seran alias Endik, saksi Maria Luruk Tahu dan saksi Petrus Manek, SP alias Piter”, tegasnya.
Ke tiga, berdasarkan analisa yuridis “unsur setiap orang dan unsur dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum” yang telah tidak terbukti maka Unsur menjanjikan atau memberi uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga Negara Indonesia baik secara langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suaranya menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memimilih calon tertentu” sebagai tujuan dan motivasi dari perbuatan melawan hukum dengan sendirinya tidak terbukti.
“Dengan demikian maka, Pembanding YOHANES BRIA KLAU alias BEI ULU memohon kepada Ketua Pengadilan Tinggi Kupang, melalui Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus Permohonan Banding nanti, untuk memberikan putusan secara benar dan adil”, kata Eduardus.*(BuSer)