Malaka, NTT — Terdakwa dalam kasus money politic Pilkada Malaka, Yohanes Bria Klau atau YBK (Bukan YBS sebagaimana diberitakan beberapa media online) alias Bei Ulu mengajukan banding atas putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Atambua. Melalui Kuasa Hukumnya, YBK telah mengajukan memori banding pada Rabu (13/01/2021).
Dalam memori banding tersebut, Tim Kuasa Hukum YBK menyebutkan adanya rekayasa yang dilakukan untuk maksud tertentu sehingga Majelis Hakim ditipu secara terang-terangan.
“Sejak awal perkara a quo telah direkayasa sedemikian rupa dengan maksud tertentu sehingga keterangan para saksi justru telah menipu Majelis Hakim secara terang-terangan dan anehnya Majelis Hakim tanpa pertimbangan yang utuh menerima secara mentah-mentah keterangan para saksi tersebut”, ujar Joao Meco, SH, salah satu Kuasa Hukum YBK ketika dikonfirmasi media ini di Atambua, Rabu (13/01/2021).
Menurut Meco, keterangan para saksi dalam sidang patut dianalisis faktanya agar dapat diperoleh fakta hukum, antara lain keterangan saksi pelapor, atas nama Herman Klau Horak yang dinilai secara terang-terangan menipu Majelis Hakim dengan menyatakan bahwa dirinya tidak mengenal Terdakwa. “Padahal faktanya saksi Pelapor atas nama Herman Klau Horak adalah tetangga yang posisi rumahnya berhadapan dengan Terdakwa, satu dusun yakni Dusun Tua Laran dan desa Leun Klot, Kecamatan Weliman, Kabupaten Malaka”, ujar Meco.
Fakta lain, kata Meco, adalah bahwa sesungguhnya dialog untuk masalah taruhan siapa yang menang Pilkada atau money politics hanya terjadi antara saksi pelapor dan Terdakwa karena pada saat peristiwa dialog berlangsung hanya Terdakwa dan saksi pelapor berdua yang melakukan dialog tawar-menawar atau janji-janji. Sedangkan Kutipan kalimat yang digunakan dalam Surat Dakwaan dan Surat Tuntutan Jaksa Penuntut yang berbunyi “tunggu saya ambil uang dulu” secara hukum tidak membuktikan apapun tentang niat atau rencana atau motivasi Terdakwa dalam melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan.
“Kemudian, bahwa secara logika money politics adalah perbuatan melanggar hukum yang disadari dan diketahui oleh setiap orang baik yang berpendidikan maupun yang buta huruf sekali pun. Nah, dalam perkara a quo Terdakwa adalah seorang petani yang buta huruf namun memiliki sedikit uang karena anak-anaknya sebanyak 4 orang bekerja sebagai TKI di Malaysia hingga saat ini. Jika Terdakwa melakukan money politics atas inisiatifnya sendiri dengan menggunakan uangnya sendiri, dapatkah dijelaskan logika hukumnya oleh Bawaslu, aparat Lembaga Sentra Penegakan Hukum Terpadu (GAKKUMDU) bagaimana hubungan dan apa kepentingannya dengan paket SBS-WT yang nantinya dapat terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati”, tandas Meco.
“Atau dengan kata lain, dapatkah seorang penegak hukum menjelaskan seorang petani yang hidupnya tergantung pada kiriman uang dari anak-anaknya, buta huruf dan tidak mengerti politik harus merogok uang pribadi sebesar Satu Juta Lima Ratus Ribu Rupiah untuk memenangkan paket SBS-WT yang menjadi idolanya dengan cara menyogok para pemilih di dusun atau desanya”, lanjut Meco.
Lebih lanjut Meco menjelaskan, jarak antara tanggal peristiwa serah terima uang, yakni Tanggal 02 Desember 2020 dan hari pencoblosan, yakni tanggal 09 Desember 2020 adalah rentang waktu yang masih sangat jauh untuk dilakukan money politic, dan yang lebih tidak relevan lagi kejadiannya disiang hari dan difoto pula.
Penyerahan uang oleh Terdakwa sebagaimana yang terlihat dalam foto, yang dilakukan pada siang hari dan terbuka serta difoto bukanlah mudus dan kharakter pemain-pemain politik yang handal sebagaimana yang selama ini kerap diperbincangkan dimasyarakat dan diangkat di Pers.
“Sungguh betapa nista dan naifnya skenario politik rekayasa ini dilakukan hanya untuk kepentingan tertentu dengan mengorbankan Terdakwa yang adalah rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa sehingga Tim Pembela hanya mampu menulis Memori Banding seraya meminta istri dan anak-anak Terdakwa untuk mendoakan aparat yang gelap nuraninya karena tega mengotori tangannya, jiwa dan imannya dengan mengikuti kehendak akrobat politik yang tidak bermoral”, ungkap Meco.*(BuSer)