Money Politic atau Politik Uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang. Dengan demikian, Money Politic adalah sebuah bentuk pelanggaran kampanye.
Dalam ajang politik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Malaka, 09 Desember 2020, terminologi Money Politic muncul ke rana publik terkait kasus YBK, seorang Petani asal Desa Leunklot yang sejak diseret ke meja hijau dengan tuduhan money politic. Dan sebagaimana lazimnya kasus, tentu ada tuduhan dan ada juga pembelaan. Di sini, kami tidak bermaksud menuduh ataupun membela.
Kami hanya sajikan apa yang tertuang di dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015, TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG. Untuk efisiensi penulisan, kami menyebutnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Adapun maksud penyampaian apa yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 ini pun hanya bersifat informatif untuk menambah wawasan publik tentang apa itu Money Politic dan akibat yang timbul dari perbuatan Money Politic, serta siapa saja yang bisa dikenakan hukuman atas perbuatan tersebut.
Pada Pasal 73, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tersebut diatur dalam ayat (1) Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/ atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara Pemilihan dan/ atau Pemilih.
Kemudian dalam ayat (2) Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/ Kota.
Dan dalam ayat (3) Tim Kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, ketentuan hukum mengenai hukuman terhadap pelanggar Money Politic diatur dalam Pasal 187A, ayat (1) bunyinya: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Menariknya, dalam ayat (2) Pasal 187A tersebut diatur: “Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
Kembali ke kasus YBK di Pilkada Malaka, terlepas dari benar atau tidak tuduhan yang didakwakan kepadanya, YBK sebagai ‘Pemberi’ sedang menunggu putusan pemegang palu peradilan terkait kasusnya. Pertanyaan yang mengganjal adalah, jika YBK terbukti bersalah di pengadilan sebagai Pemberi Uang, bagaimana dengan Penerima Uang?
Sebab Ayat (2) Pasal 187A UU No 10 Tahun 2016 sangat jelas mengatur: “Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. Dan kasus YBK terungkap bermula dari Video Pengakuan Penerima Uang, yang mana (maaf) dalam video tersebut jelas kedengaran suara wanita yang menuntun sang Penerima Suap untuk mengatakan kata-kata apa.*(BuSer)